Oleh : Dhen Ba Gus e Ngarso
Menippus barangkali akan menggeleng-geleng kepala melihat umat manusia hari ini. Betapa tekunnya kita menyembah emas, seolah-olah ia nabi baru yang turun untuk memberi wahyu kebahagiaan. Padahal, emas sendiri tidak pernah mengeluarkan satu pun ayat. Ia cuma logam. Diam. Dingin. Tidak punya target hidup.
Namun, manusia? Wah luar biasa. Demi emas, kita tiba-tiba berubah jadi makhluk multitalenta: bisa membohongi diri sendiri, melipat akhlak sampai bentuknya tak dikenali, bahkan fasih berbicara dengan suara hati yang sudah lama mati.
Kalau emas bisa mengadakan konferensi pers, mungkin ia akan berdiri di podium dan berkata lantang:
“Saudara-saudara manusia, tolong berhenti memuja saya. Saya tidak minta diperebutkan. Kalian ribut sendiri, rebutan sendiri, saling menjatuhkan sendiri. Bahkan saya tidak tahu harus bangga atau takut.”
Dan mungkin emas akan menambahkan, sambil cekikikan:
“Saya cuma menganggur di dalam tanah ribuan tahun. Yang bikin saya terkenal ya kalian, bukan saya.”
Tetapi manusia tetap kukuh: kebahagiaan harus berwarna emas. Padahal secara logika, tak ada satu pun cincin yang bisa mengisi kekosongan batin, dan tak ada kalung yang bisa menutupi kenyataan bahwa hidup sedang oleng.
Leluhur Jawa sudah mengingatkan sejak lama: “Wong urip ojo gumedhe bandha.” Tapi manusia zaman sekarang justru berlomba menjadi influencer materialisme. Sedikit-sedikit pamer emas. Sedikit-sedikit unggah perhiasan. Seolah-olah gelang bisa naik pangkat menjadi karakter moral.
Di tengah hiruk-pikuk itu, nilai-nilai kemanusiaan tersingkir ke pinggir seperti kursi plastik di hajatan. Waktu habis untuk mengejar kilau yang tidak pernah peduli. Hubungan retak demi sesuatu yang… kalau jatuh ke lantai saja tidak menjerit.
Yang paling ironis? Emas tidak pernah menjanjikan kebijaksanaan. Tidak menawarkan kedamaian. Tidak menjamin hidup lebih berharga. Tapi manusia tetap memburunya dengan semangat yang hanya kalah sedikit dari orang rebutan sembako.
Seolah-olah kita semua sepakat bermain dalam drama tragikomedi: manusia mengejar emas, emas tidak mengejar siapa pun, tapi manusia merasa menang.
Pada akhirnya, emas tetap logam bisu. Yang sedang dipermainkan oleh ilusi… ya kita sendiri. Dan yang paling satir dari semua ini?
Kita tahu itu.
Tapi tetap saja kita kejar.

