LESINDO.COM – “Waktu terus berjalan dan tak pernah mau berhenti, meski sekejap. Ia tak mengenal kata jeda, tak pernah mundur, tak mau kompromi. Ia hanya tahu satu arah — maju.” Setiap detik yang berlalu membawa manusia semakin jauh dari masa lalu, dari momen-momen yang dulu terasa begitu dekat. Kadang kita berharap bisa kembali, sekadar untuk menatap ulang wajah-wajah yang dulu memenuhi hari-hari, mendengar kembali tawa kecil yang dulu begitu akrab di telinga. Tapi waktu, seperti biasa, terlalu disiplin untuk menoleh ke belakang.
Kenangan di Atas Sepeda Tua
Dulu, ada masa di mana pagi berarti kesibukan kecil di rumah. Tangan yang tergesa menyiapkan sarapan, suara anak-anak yang berebut mandi, dan tawa yang riuh di halaman. Sepeda tua menjadi saksi setia perjalanan menuju sekolah — menembus embun pagi, melawan angin, kadang diselingi ban bocor yang justru menghadirkan cerita lucu di antara rutinitas.
Kalau sepeda itu bisa bicara, mungkin ia akan bercerita tentang betapa seringnya ia menjadi saksi antara cinta, tanggung jawab, dan kebahagiaan sederhana. Ia tahu bahwa “mengejar waktu” bukan sekadar perkara jam masuk sekolah, tapi juga tentang menjaga kebersamaan sebelum anak-anak tumbuh dan melangkah sendiri.
Ketika Rumah Mulai Sepi

Kini, suasana itu perlahan berubah. Rumah yang dulu ramai dengan suara langkah dan canda, kini terasa lengang. Anak-anak sudah dewasa, sudah mampu berkendara sendiri, bahkan sudah memiliki dunia mereka sendiri. Kadang tanpa sadar, tangan ini masih siap menyalakan motor setiap pagi, seolah waktu belum berlalu. Tapi lalu tersadar — tak ada lagi yang perlu diantar. Tak ada lagi yang berteriak, “Abah, jusnya belum!” atau “Abah, nasi gorengnya mana?”
Yang tersisa hanya keheningan… dan rindu yang menua dalam diam.
Pelajaran dari Waktu
Waktu, pada akhirnya, bukan musuh. Ia adalah guru yang paling jujur. Ia mengajarkan bahwa cinta tak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau perhatian sehari-hari, tapi juga dalam keikhlasan melepaskan.
Setiap detik yang berlalu bukan sekadar kehilangan, tapi juga penanda bahwa anak-anak telah tumbuh, bahwa tugas orang tua telah menuntun mereka sampai di titik dewasa. Dan dari balik kesunyian, doa menjadi bentuk cinta paling tulus yang terus dipanjatkan — meski tanpa suara.
Waktu mungkin tak bisa diminta berhenti,
tapi kenangan tak pernah benar-benar pergi.
Ia berdiam di hati, menghangatkan,
dan mengingatkan: betapa berartinya setiap detik yang dulu pernah kita lewati bersama. (mac)