Oleh : Dhen Ba Gus e Ngarso
Hidup ini, barangkali, adalah panggung yang dibangun dari cahaya dan bayangan. Kita berjalan di atasnya seperti siluet yang mencari bentuk, mencoba menafsir naskah yang ditulis angin dan dihapus waktu. Setiap langkah adalah kemungkinan, setiap dialog adalah doa yang kadang patah di tengah jalan.
Kita sering ingin menjadi tokoh utama, berdiri di bawah sorot lampu paling hangat. Tapi tak kita sadari, lampu itu pun kadang menyilaukan—membuat kita lupa arah, lupa jeda, lupa bahwa tidak semua panggung membutuhkan suara yang paling keras. Ada peran-peran sunyi yang justru membenihkan makna, peran-peran kecil yang kelak dikenang lebih lama daripada tepuk tangan yang cepat menguap.
Para penonton datang seperti musim: singgah sebentar, mengomentari cuaca, lalu pergi tanpa benar-benar tahu badai apa yang sedang menggulung di dalam dada kita. Ironisnya, kita terlalu sering menata hidup berdasarkan bisik mereka, bukan berdasarkan suara sutradara semesta yang memanggil kita dengan lirih—suara yang hanya bisa didengar mereka yang mau diam sejenak.

Ketika alur hidup terasa kusut, kita menyalahkan takdir seolah ia pena yang goyah. Padahal mungkin kitalah yang tergesa, menyalin naskah tanpa hati, menghapal adegan dengan tergagap. Kita lupa bahwa setiap babak memiliki ritme; ada adegan yang harus dilambatkan, ada luka yang perlu dibiarkan mengembun sebelum sembuh. Namun kita sering mengabaikannya, lalu bertanya mengapa cerita terasa kehilangan rasa.
Kadang kita menatap panggung orang lain—panggung yang tampak terang seperti bulan purnama—dan kita iri pada cahaya itu. Kita lupa bahwa cahaya purnama pun lahir dari kegelapan; ia tidak bersinar tanpa malam yang menelannya. Kita tidak tahu bagaimana retaknya hati orang lain, tidak tahu suara apa yang mereka bisukan setiap kali tirai tertutup.
Jika lakon hidup terasa hambar atau terlalu kelam, jangan buru-buru mengganti jalan cerita. Mungkin yang perlu berubah bukan naskahnya, melainkan cara kita membacanya: dengan mata yang lebih teduh, dengan hati yang lebih sabar, dengan pasrah yang lebih dalam. Sebab bahkan halaman yang sama dapat mengungkapkan makna baru bila dibaca dengan cahaya yang berbeda.

Mawas dirilah dalam hening tengah malam, saat dunia meredam suaranya. Dengar bagaimana hatimu bergetar—pelan, hampir tak terdengar—mengajarkan peran yang seharusnya kau mainkan. Tanyakan: Sudahkah aku jujur pada diriku sendiri? Sudahkah aku hidup, bukan sekadar bertahan di atas panggung?
Dan jika dunia berkata lakonmu membosankan, biarkan saja. Mereka hanya melihat dari kursi penonton; mereka tak pernah ikut menanggung badai yang harus kau taklukkan di balik layar.
Teruslah memainkan peranmu dengan ketulusan serupa hujan yang turun tanpa meminta balasan. Karena suatu hari nanti, ketika tirai ditutup perlahan dan lampu panggung meredup, kita mungkin baru mengerti bahwa hidup ini adalah sebuah puisi panjang—melankolis, penuh metafora, penuh kesunyian—namun justru itulah yang membuatnya indah untuk dijalani.

