spot_img
BerandaHumanioraDi Pelataran Swalayan Layu Sayurnya, Tidak dengan Semangatnya

Di Pelataran Swalayan Layu Sayurnya, Tidak dengan Semangatnya

Kini, dua ikat sayur itu tak lagi di tangan si nenek. Ia melangkah perlahan meninggalkan pelataran swalayan dengan senyum tipis. Mungkin lelah, mungkin bahagia. Aku menatap punggungnya yang menjauh sambil berdoa dalam hati:

LESINDO.COM – Sore itu, langit Kartasura mulai beranjak temaram. Di depan sebuah swalayan besar, lalu-lalang pengunjung tampak padat. Tanggal muda memang selalu mengundang antrean panjang dan keramaian di kasir. Namun di antara hiruk pikuk itu, ada satu pemandangan yang mencuri perhatian.

Seorang nenek dengan tubuh yang mulai membungkuk berjalan perlahan di pelataran parkir. Di tangannya tergenggam dua ikat sayur yang sudah tampak layu. Setiap orang yang melintas ia hampiri, ia tawari dengan suara pelan namun penuh keyakinan. Tak satu pun menoleh. Sebagian tersenyum singkat, sebagian lainnya berlalu begitu saja.

Sebuah mobil lewatpun tak gentar di hampiri hanya karena dua ikat sayur yang layu agar terjual. (mac)

Namun, nenek itu tak berhenti. Ia terus melangkah, menembus keramaian, menawar rezekinya kepada siapa pun yang lewat. Bahkan ketika sebuah mobil Pajero berhenti di depannya, ia masih mencoba menawarkannya. Ketika ditolak lagi, ia hanya tersenyum kecil, lalu beralih menghampiri orang lain.

Dari tempatku berdiri, aku hanya bisa menatapnya dalam diam. Ada sesuatu yang mengetuk dada—campuran iba dan kagum. Di usia yang mungkin telah menapaki 65 atau 70 tahun, ia masih berjuang tanpa menyerah. Dua ikat sayur yang nyaris kehilangan warna, dijual dengan sepenuh hati seolah itu adalah harta terakhir yang harus ia perjuangkan.

Tak lama kemudian, seorang ibu muda keluar dari swalayan. Ia sempat berhenti, memandang nenek itu, lalu mengambil satu ikat sayur. Aku tahu, bukan sayurnya yang dibeli. Mungkin hatinya yang tergerak oleh ketulusan, oleh keteguhan yang jarang terlihat di tengah dunia yang serba tergesa ini.

Kini, dua ikat sayur itu tak lagi di tangan si nenek. Ia melangkah perlahan meninggalkan pelataran swalayan dengan senyum tipis. Mungkin lelah, mungkin bahagia. Aku menatap punggungnya yang menjauh sambil berdoa dalam hati:

“Embah, semoga engkau selalu diberi kesehatan, kekuatan, dan keberkahan dalam menjemput rezeki di bumi Allah ini.”

Karena rezeki, sekecil apa pun, selalu datang bagi mereka yang tak berhenti melangkah. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments