LESINDO.COM – Waktu mungkin telah memutihkan rambut dan menebalkan kerut di dahi, membawa ke usia senja kepala lima. Namun, di balik bingkai kacamatanya yang sering berembun, jiwa pewarta itu tetap menyala muda. Baginya, menjadi “kuli tinta” istilah lama yang ia banggakan bukan lagi profesi, melainkan sebuah sumpah yang telah menyatu dengan setiap tarikan napas dan membentuk seluruh jati dirinya.
Busana terbaiknya, sekaligus tameng terkuatnya, adalah kamera yang dipanggul dan rompi lapangan yang penuh cerita. Ia adalah penjelajah realita; sebuah lensa yang ia rawat dengan kehati-hatian adalah satu-satunya jembatan yang ia miliki untuk menyeberang ke sisi kehidupan yang tersembunyi.

Namun, di antara semua hiruk pikuk politik dan kemajuan kota, Ia selalu kembali ke subjek yang paling mengusik kedalaman batinnya: orang-orang renta yang terpinggirkan. Mereka adalah figur-figur yang, di ambang masa lalu dan keterbatasan masa depan, telah termarginalkan hingga tak memiliki kekuatan untuk bersuara, apalagi berdaya.
Menemukan keindahan yang memilukan di sana. Bukan keindahan estetika, melainkan martabat yang dipertahankan dalam kondisi paling genting. Ia memotret punggung yang membungkuk di bawah beban hidup, tangan yang keriput namun tak pernah berhenti bergerak, sekadar bertahan dari keterasingan dan kelupaan zaman.
Dalam keheningan shutter yang ia tekan, selalu mengirimkan pertanyaan tak terucap kepada semesta: “Sampai kapan martabat ini harus dipertahankan hanya demi sehelai napas?” Ia tahu, misinya di usia senja ini bukanlah mencari angle yang bagus, melainkan mengumpulkan bukti kegetiran yang sunyi, berharap setiap foto yang ia tangkap dapat mengoyak tirai ketidakpedulian dunia yang terlalu cepat melaju. (mac)