Oleh Dhen Ba Gus e Ngarso
Orang Jawa punya cara sendiri membaca hidup. Tidak tergesa, tidak pula berisik. Di sela pagi yang masih menyisakan embun, atau di sore ketika angin pelan menyapu halaman, pitutur lama itu sering terdengar lirih: “Kuncine urip adhem ayem kuwi nampa, nrima, lan welas asih.”
Kalimatnya singkat. Maknanya panjang.
Di tengah dunia yang sibuk menuntut lebih—lebih cepat, lebih tinggi, lebih terlihat—orang Jawa justru diajak melambat. Adhem ayem bukan sekadar suasana, melainkan keadaan batin. Hati yang tidak mudah panas, pikiran yang tidak selalu ingin menang.
Nampa menjadi langkah awal. Ia mengajarkan kesadaran bahwa hidup tidak selalu sejalan dengan rencana. Ada hari ketika usaha tak berbuah, ada keadaan yang datang tanpa diundang. Nampa bukan menyerah, melainkan berhenti berkelahi dengan kenyataan.
Setelah itu ada nrima. Inilah sikap batin yang sering disalahpahami. Nrima bukan malas berjuang, tapi tahu kapan berhenti menuntut. Setelah usaha dilakukan, hati diajak legawa. Tidak iri pada rezeki orang lain, tidak menyimpan dengki atas nasib sendiri. Hidup menjadi ringan karena tidak memikul beban perbandingan.
Namun, hidup tidak cukup hanya berdamai dengan diri sendiri. Orang Jawa percaya, ketenteraman juga lahir dari hubungan antarmanusia. Di situlah welas asih bekerja. Rasa iba, empati, dan tepa slira menjadi penyangga kehidupan bersama. Tidak mudah menyalahkan, tidak ringan melukai.
Dalam pitutur itu, hidup tampak sederhana. Tidak ribet oleh ambisi berlebihan. Tidak gaduh oleh ego yang ingin selalu diakui. Bahagia bukan soal memiliki segalanya, melainkan cukup dengan menerima apa yang ada, mensyukuri yang datang, dan tetap memanusiakan sesama.
Barangkali itulah sebabnya, di banyak sudut Jawa, ketenangan masih bisa ditemukan—bukan karena hidup tanpa masalah, tetapi karena warganya memilih berdamai. Sebab bagi orang Jawa, urip sing becik ora kudu rame. Cukup adhem ayem, lan atine tentrem.

