spot_img
BerandaBudayaDi Balik Sebatang Rokok: Mbah Sastro, Penjaga Benih, dan Kerutan Waktu

Di Balik Sebatang Rokok: Mbah Sastro, Penjaga Benih, dan Kerutan Waktu

"Kita ini hidup dari bumi, Nak. Kalau tanahnya sakit karena dipaksa, kita juga ikut sakit," ujarnya suatu kali, suaranya serak namun tegas. Tongkat kayu yang ia genggam bukan hanya penopang fisik, melainkan juga simbol: ia telah berjalan jauh, menggarap lahan dari fajar hingga senja, melewati masa penjajahan hingga reformasi.

LESINDO.COM – Di balik bayangan gelap, hanya cahaya lembut yang menyoroti wajahnya sebuah peta yang dipenuhi oleh kerutan waktu. Mbah Sastro, bukan sekadar seorang lelaki tua, melainkan sebuah prasasti hidup dari desa di kaki Gunung Merapi. Setiap pagi, Mbah Sastro memulai harinya dengan ritual yang tak pernah berubah: mengenakan lurik usang, kain tenun bergaris hitam-cokelat yang telah menjadi kulit kedua baginya, dan melilitkan blangkon di kepala. Pakaian sederhana itu adalah seragam kesetiaan pada tradisi yang ia pegang teguh.

Jiwanya tertanam kuat di tanah. Selama puluhan tahun, Mbah Sastro dikenal sebagai petani gurem, penggarap sawah yang tak pernah meminta lebih dari apa yang bumi bisa berikan. Namun, peran terpentingnya kini adalah penjaga benih lokal. Di tengah gempuran benih hibrida yang menjanjikan panen instan, Mbah Sastro bersikeras menyimpan dan menanam varietas padi tua, yang ia sebut pari brayut, yang hasilnya tak banyak, namun rasanya otentik dan tahan penyakit lokal.


Di usia senja rokok yang selalu setia menemani mbah Satro ke mana dia melangkah pergi. (mac)

“Kita ini hidup dari bumi, Nak. Kalau tanahnya sakit karena dipaksa, kita juga ikut sakit,” ujarnya suatu kali, suaranya serak namun tegas. Tongkat kayu yang ia genggam bukan hanya penopang fisik, melainkan juga simbol: ia telah berjalan jauh, menggarap lahan dari fajar hingga senja, melewati masa penjajahan hingga reformasi.

Momen paling berharga adalah saat sebatang rokok kretek terselip di antara jari-jarinya yang kasar. Asap tipis yang membumbung adalah napasnya, hembusan jeda dari kebisingan dunia. Desa telah berubah. Ia melihat anak-cucu membawa ponsel pintar dan lebih memilih bekerja di pabrik kota daripada di lumpur sawah. Mbah Sastro tidak menolak perubahan, tetapi ia memegang batas. Ia mengizinkan cucunya mengajarinya mengirim pesan singkat untuk menghubungi pengepul, tetapi ia akan selalu mematikan ponsel itu saat senja tiba.

“Teknologi itu baik, Nak, asalkan kita yang memegang kendali, bukan sebaliknya,” katanya, tatapannya yang dalam—walau terkadang kosong—menyimpan ratusan kisah. Ia adalah personifikasi dari pepatah Jawa, “alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan asalkan tercapai), menjalani hidup dengan sabar dan penuh martabat.

Setiap hirupan rokoknya adalah penghargaan pada hari yang telah ia lalui, dan setiap embusan asap adalah janji untuk menyambut matahari esok. Di masa senja hidupnya, ia tidak mencari kemewahan, hanya ketenangan dan kesederhanaan. Ia adalah pilar desa, bukan karena kekayaan, tapi karena warisan ketulusan dan kesahajaan yang tak lekang dimakan zaman.  (mad)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments