spot_img
BerandaHumanioraDelapan Nama dalam Satu Panggilan Absensi Pagi di Rumah

Delapan Nama dalam Satu Panggilan Absensi Pagi di Rumah

Begitulah orkestra khas rumah kami. Ibu berdiri di tengah ruang, wajahnya serius, misinya jelas: memanggil satu anak yang dibutuhkan saat itu. Tapi lidahnya, alih-alih memilih jalur cepat, malah meniti semua nama, seperti takut ada satu yang tertinggal di jalan kenangan.

Oleh : Rr. Wening Jati 

Subuh di rumah kami dulu bukan sekadar pergantian waktu; ia adalah gong pembuka dari sebuah pertunjukan keluarga yang tak pernah libur. Begitu adzan mereda, aroma wangi air sabun dari dapur menyelinap ke seluruh rumah. Lantai disapu, ember berdenyut, dan panci yang menggantung seperti ikut mengangguk—seakan semuanya tahu: sebentar lagi Ibu akan memulai ritual paling legendaris dalam sejarah delapan bersaudara.

Pagi itu selalu sibuk. Sebagian dari kami menyiapkan tas sekolah, sebagian lain mengurus beberapa barang yang akan di bawa ke toko. Toko grosir jualan ibu  berada tepat di pinggir jalan raya, berdampingan dengan pasar yang tak pernah benar-benar tidur. Pelanggan sudah berdatangan bahkan sebelum matahari selesai menggosok-gosok matanya. Kami masih pakai sistem manual—harga barang pun lebih sering ditanyakan lewat interkom dari rumah:
“Bu, gula pasir berapaaa?”
Suaranya sampai ke dapur seperti menitipkan sedikit kekacauan sehari-hari.

Namun dari semua kerepotan itu, ada satu kebiasaan yang tak pernah kalah riuh: panggilan Ibu.

Setiap pagi, satu nama akan dipanggil. Seharusnya hanya satu. Tapi seperti biasa—seperti hukum alam keluarga besar—yang keluar justru delapan. Berjejer lengkap seperti daftar hadir kelas yang terlalu antusias.

“Nong… Ud… Mac… Gus… Aah… Ros… Sid… Fah… —eh, kamu itu, Nong!”

Begitulah orkestra khas rumah kami.
Ibu berdiri di tengah ruang, wajahnya serius, misinya jelas: memanggil satu anak yang dibutuhkan saat itu. Tapi lidahnya, alih-alih memilih jalur cepat, malah meniti semua nama, seperti takut ada satu yang tertinggal di jalan kenangan.

Kami yang mendengar hanya bisa saling melirik. Kadang menahan tawa, kadang sudah pasrah. Ada kalanya salah satu dari kami maju duluan, meski namanya bukan yang terakhir disebut—sekadar menolong Ibu menutup daftar panggilan dengan damai.

Dan di situlah kelucuannya: bukan karena Ibu pelupa, bukan karena kami kebanyakan. Tapi karena setiap nama seperti punya tiket antrean sendiri. Mereka berebut keluar dari ingatan Ibu, kompak ingin diucapkan. Rumah berubah menjadi arena tebak-tebakan:
“Siapa korban panggilan pagi ini?”

Anehnya, bukannya merepotkan, momen itu justru menjadi perekat. Dalam keruwetan kecil itu ada rasa hangat yang tak bisa diterjemahkan begitu saja. Seolah dengan menyebut delapan nama itu, Ibu sedang memastikan bahwa semuanya masih aman, masih lengkap, masih utuh sebagai keluarganya.

Kini, lebih dari empat puluh tahun kemudian, ketika masing-masing dari kami sudah punya kehidupan sendiri, panggilan berantai itu berubah menjadi harta karun ingatan. Ada tawa yang muncul setiap kali kami mengulang kisahnya. Ada rasa haru yang samar-samar, seperti bisikan kecil dari masa lalu.

Baru sekarang kami mengerti:
Itu bukan sekadar salah sebut.
Itu cara Ibu merangkul kami—dengan suara, dengan nama, dengan cinta yang tak pernah salah alamat meski urutannya selalu kacau.

Dan ketika kenangan itu kembali, kami seperti berdiri lagi di ruang tamu, berjajar rapi, menunggu siapa yang dipanggil duluan.
Absensi pagi yang tak pernah lekang oleh waktu—dan tak ada yang ingin absen darinya.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments