Koin Tanah Liat Rezeki Tak Terbatas Makna Dodol Dawet Pengantin
LESINDO.COM – Tradisi dodol dawet atau jualan cendol dawet dalam prosesi pernikahan Jawa sudah ada sejak ratusan tahun silam. Akar budaya ini berhubungan erat dengan falsafah masyarakat Jawa yang sarat simbol dan doa dalam setiap laku adat. Konon, tradisi ini bermula dari kebiasaan masyarakat Jawa pedesaan yang menjual minuman dawet di pasar sebagai sumber rezeki. Dawet dipilih karena mudah dibuat, rasanya manis dan segar, serta selalu diminati pembeli. Dari kebiasaan itu, dawet kemudian dijadikan simbol doa agar rumah tangga yang baru dibangun mendapat rezeki yang deras mengalir seperti kuah dawet, dan kehidupan terasa manis seperti rasanya.

Dalam prosesi adat, dawet dijual oleh orang tua pengantin kepada para tamu. Uniknya, pembeli tidak menggunakan uang sungguhan, melainkan uang tanah liat (kepeng/pecahan genteng). Hal ini melambangkan bahwa pernikahan bukan soal harta benda, melainkan restu keluarga, kebersamaan, dan doa. Seiring waktu, dodol dawet menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian adat Jawa setelah siraman. Ia diwariskan turun-temurun bukan hanya sebagai tontonan budaya, melainkan juga sebagai tuntunan hidup rezeki harus diusahakan, dijalani dengan ikhlas, dan disyukuri apa adanya.
Dalam rangkaian adat pernikahan Jawa, siraman dan dodol dawet menjadi dua prosesi yang sarat makna sekaligus menyentuh hati. Siraman, dengan air suci dan bunga setaman, melambangkan penyucian lahir batin calon pengantin sebelum memasuki babak baru kehidupan. Ia bukan sekadar tradisi, melainkan doa agar langkah menuju pernikahan bersih dari segala halangan dan terbuka jalan menuju kebahagiaan.
Setelah siraman, prosesi berlanjut dengan dodol dawet. Orang tua atau pengantin “berjualan” cendol dawet di pelataran rumah. Para tamu membeli dengan koin tanah liat, bukan uang asli. Adegan sederhana ini menyimpan filosofi mendalam: bahwa rezeki dalam rumah tangga harus dicari dengan usaha, meski nilai materi bukanlah yang utama. Dawet yang manis melambangkan harapan hidup rumah tangga yang penuh manisnya kasih sayang. Ramainya orang membeli dawet menjadi doa agar rezeki dan kebahagiaan pengantin selalu mengalir deras, disertai restu keluarga dan sahabat. Tradisi ini sekaligus mengajarkan keikhlasan bahwa dunia bukan sekadar soal uang, tetapi kebersamaan, doa, dan ridha Tuhan
Di serambi rumah joglo, selepas siraman, seorang sesepuh duduk bersila. Dengan suara lembut ia menatap calon pengantin yang masih basah rambutnya, lalu berkata. “Anak-anakku, lihatlah dawet yang ada di depanmu ini. Ia bukan sekadar minuman manis. Setiap bahan di dalamnya adalah doa. Cendol hijau itu melambangkan kesuburan dan harapan, agar rumah tanggamu selalu tumbuh subur seperti padi di sawah. Gula merah yang manis, semoga menjadi rasa manis dalam kehidupanmu, agar pahit getir tak lebih kuat daripada cinta yang kalian punya. Santan putih, tanda kesucian. Ingatlah, rumah tangga harus dijalani dengan hati yang jujur dan tulus. Dan air dingin yang menyegarkan, itulah doa kami agar setiap pertengkaran dapat reda, hati kalian selalu sejuk, dan rumahmu menjadi tempat damai bagi siapa saja yang singgah. Maka, ketika kalian menjual dawet dengan kepeng tanah liat, sadarilah kalian sedang menjual doa, membagi berkah, dan membuka jalan rezeki yang Tuhan janjikan. (mac)