spot_img
BerandaHumanioraDalam Rentang Busur dan Derap Kuda: Jejak Olahraga Sunnah yang Menjawab Lelah...

Dalam Rentang Busur dan Derap Kuda: Jejak Olahraga Sunnah yang Menjawab Lelah Zaman

Memanah menjadi berbeda posisinya: permainan yang menyenangkan, tetapi tidak dianggap laghwun—tidak sia-sia. Ia adalah seni mengarahkan, sekaligus mengingatkan manusia bahwa setiap niat dan langkah pun membutuhkan titik bidik yang jelas.

Oleh : Yai Kampung

Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, manusia mencari banyak cara untuk merawat kewarasan. Ada yang berlari menyusuri trotoar kota, ada yang menghabiskan waktu di pusat kebugaran, bahkan tak sedikit yang memilih diam dalam kesunyian kolam renang. Semua itu wajar—sebagai bentuk jeda dari rutinitas yang menekan.

Namun jauh sebelum ragam olahraga itu menjamur dan menjadi budaya populer, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuka jalan: ada aktivitas fisik yang tak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga mengasah keberanian dan keteguhan batin. Dua di antaranya adalah memanah dan berkuda. Dalam ajaran beliau, kedua olahraga ini bukan sekadar hiburan, tetapi latihan mental, kesabaran, dan kesiapsiagaan diri.

Memanah: Ketepatan yang Menguatkan Jiwa

Di sebuah lapangan berpasir, seorang pemuda menarik busur perlahan. Nafasnya ditahan, matanya menyipit, dan seluruh dunia seperti mengecil pada satu lingkaran kecil di kejauhan. Ketika anak panah melesat, terdengar suara lirih yang memecah angin—lebih dari sekadar aktivitas fisik, ia adalah latihan pengendalian diri.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian besar pada olahraga ini. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:

“Ajarilah anak-anak kalian memanah…”
(HR. Al-Baihaqi)

Di hadis lain, beliau bahkan menegaskan nilai keberanian yang tertanam dalam olahraga ini:

“Kalian harus belajar memanah, karena memanah adalah sebaik-baik permainan kalian.”
(HR. Al-Bazzar)

Memanah menjadi berbeda posisinya: permainan yang menyenangkan, tetapi tidak dianggap laghwun—tidak sia-sia. Ia adalah seni mengarahkan, sekaligus mengingatkan manusia bahwa setiap niat dan langkah pun membutuhkan titik bidik yang jelas.

Berkuda: Kebebasan, Keberanian, dan Pahala

Di tengah padang rumput, seekor kuda berderap membawa penunggangnya melintasi angin. Ada kebebasan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, perpaduan antara kecepatan dan kepercayaan.

Tak mengherankan jika hampir semua orang mengakui: belajar mengendarai kuda adalah hiburan yang menyenangkan. Namun lebih dari itu, dalam tradisi Islam, ia juga bernilai pahala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Keberkahan itu ada pada ubun-ubun kuda sampai hari kiamat.”
(HR. Bukhari)

Dan dalam riwayat lain diceritakan bahwa beliau sering mengadakan lomba pacuan kuda, menjadikannya bagian dari kehidupan sosial umat:

“Rasulullah mengadakan perlombaan kuda dan memberikan hadiah kepada para pemenangnya.”
(HR. Bukhari)

Berkuda bukan hanya urusan kecakapan mengendalikan hewan, tetapi latihan keberanian. Di punggung kuda, manusia belajar bahwa kekuatan tidak selalu terletak pada otot, tetapi juga pada kepercayaan—kepada tunggangannya, kepada dirinya sendiri.

Tradisi yang Tak Pernah Usang

Kini, ketika kehidupan digital membuat manusia semakin jarang bergerak dan mudah lelah secara mental, memanah dan berkuda menemukan kembali peminatnya. Banyak yang menjadikannya hobi akhir pekan, sebagian lagi merawatnya sebagai jalan meneladani sunnah.

Memilih olahraga memang perkara selera. Namun ketika sebuah aktivitas bisa menjadi ibadah—menguatkan raga sekaligus mendatangkan pahala—tradisi itu menemukan maknanya kembali.

Di antara tarikan busur dan derap kuda, manusia seperti diajak pulang: kepada kesederhanaan, kepada ketegasan diri, kepada nilai-nilai lama yang tak lekang oleh zaman.

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments