LESINDO.COM-Perjalanan dari Tawangmangu menuju Candi Cetho bukan sekadar lintasan jarak, melainkan sebuah perjalanan batin. Jalan berkelok menanjak menembus perbukitan, melewati kebun teh Kemuning yang hijau membentang sejauh mata memandang. Udara di sini dingin dan lembap, sesekali kabut turun begitu tebal hingga hanya menyisakan siluet pepohonan. Di antara kabut dan embun yang menempel di kaca mobil, suasana terasa hening dan magis — seolah kita tengah mendaki menuju dunia lain.
Sekitar tiga puluh menit dari Tawangmangu, di ketinggian hampir 1.500 meter di atas permukaan laut, berdirilah Candi Cetho, situs suci yang menyimpan kisah panjang dari masa senja Kerajaan Majapahit. Di sinilah, di lereng barat Gunung Lawu, jejak spiritual masa lalu masih terasa kuat, berbaur dengan aroma dupa dan bisikan angin pegunungan.

Candi Cetho bukan hanya sekadar susunan batu purba. Ia adalah manifestasi perjalanan jiwa manusia Jawa yang mencari kesempurnaan di tengah perubahan zaman. Dibangun sekitar abad ke-15 Masehi, pada masa ketika Majapahit mulai meredup dan pengaruh Islam mulai menguat, tempat ini menjadi pelarian spiritual bagi mereka yang ingin tetap menjaga tradisi leluhur dan mencari ketenangan batin di gunung yang disucikan.
Menapaki anak tangga pertama Candi Cetho seperti menaiki tangga menuju langit. Kompleks candi ini tersusun dalam tiga belas teras berundak, mengikuti kontur alam Gunung Lawu. Setiap teras bukan hanya tingkatan fisik, tetapi juga simbol tahapan spiritual manusia — dari kehidupan duniawi hingga penyatuan dengan Yang Maha Suci. Arsitekturnya mengingatkan pada punden berundak, bentuk asli kepercayaan Nusantara yang jauh lebih tua dari agama-agama besar yang datang kemudian.
Di bagian bawah, pengunjung akan menjumpai relief-relief yang menggambarkan kehidupan dan pelajaran moral, termasuk arca Bima, sang tokoh Pandawa yang sedang bertapa. Sosoknya tegap, memandang jauh ke arah barat, seolah menjadi penjaga jalan bagi siapa pun yang ingin mendaki menuju kesucian. Di sisi lain, lingga dan yoni menjadi lambang penyatuan dualitas alam — simbol kesuburan dan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan, bumi dan langit, dunia dan akhirat.

Ketika matahari mulai condong ke barat, kabut tipis kembali turun, menutupi pelataran candi dengan selimut putih yang lembut. Di saat seperti itu, suasana berubah mistis. Dari kejauhan kadang terdengar suara doa dan kidung suci dari para peziarah yang datang untuk semedi atau ruwatan. Hingga kini, Candi Cetho masih menjadi pusat spiritual bagi penganut kejawen dan Hindu, tempat orang mencari pencerahan batin di antara sunyi dan kesejukan pegunungan.
Namun bagi wisatawan, Cetho menawarkan keindahan yang lain. Dari teras tertinggi, pandangan terbentang luas — lembah Karanganyar terlihat seperti hamparan permadani hijau, sementara awan bergerak pelan menutupi bukit-bukit kecil. Jika cuaca cerah, garis cakrawala di barat akan memantulkan sinar jingga matahari yang berpadu indah dengan batu-batu candi berlumut.
Candi Cetho bukan sekadar warisan arkeologi. Ia adalah warisan jiwa, pengingat bahwa spiritualitas dan alam pernah berpadu begitu indah di tanah Jawa. Di punggung Gunung Lawu yang sunyi, setiap batu seolah berbisik tentang perjalanan panjang manusia mencari arti hidup — menuju kesucian, menuju langit.(cha)

