LESINDO.COM – Di zaman ketika informasi bisa menyebar dalam hitungan detik, kebenaran sering kali menjadi barang langka. Kita hidup di tengah budaya pencitraan, di mana kejujuran kadang kalah oleh keinginan untuk terlihat sempurna. Dari ruang media sosial hingga ruang kerja, manusia belajar menyesuaikan kenyataan agar tampak lebih baik di mata orang lain.
Padahal, kebohongan—sekecil apa pun—selalu menyisakan jejak. Ia mungkin tak terasa pada awalnya, tapi perlahan menumpuk menjadi beban yang membuat langkah hidup terasa berat. Kita menjadi cemas, waspada, bahkan takut pada bayangan sendiri. Sebab, di balik setiap kepalsuan, ada bagian dari diri yang harus terus disembunyikan.

Kebenaran memang tidak selalu menyenangkan. Ia bisa membuat kita kehilangan kenyamanan, menyingkap luka lama, atau memaksa kita menghadapi hal-hal yang tak ingin diakui. Namun, kejujuran memiliki kekuatan yang menenangkan. Ada kelegaan yang lahir ketika seseorang berani berkata apa adanya—seolah dada yang sesak tiba-tiba mendapat udara segar.
Hidup dalam kebenaran bukan sekadar persoalan moral atau ajaran agama. Lebih dari itu, ia adalah soal kebebasan batin. Orang yang jujur mungkin tidak selalu disukai, tapi ia hidup dengan ringan. Ia tidak perlu menghafal kebohongan, tidak perlu berpura-pura, dan tidak perlu takut jika topengnya terlepas.
Di dunia yang gemar menilai penampilan, memilih hidup jujur mungkin tampak sederhana, tapi sejatinya itu bentuk keberanian yang langka. Karena hanya dengan menatap kenyataan apa adanya, manusia bisa menemukan ketenangan sejati—ketenangan yang tidak bisa dibeli, dan tidak bisa disembunyikan di balik citra yang palsu. (Din)

