Oleh Lebah Manah
Sekitar tahun 1978, ingatan masa kecil itu datang seperti kabut pagi yang perlahan muncul dari balik pepohonan. Tidak semuanya jelas, tidak pula sepenuhnya pudar. Yang tertinggal justru fragmen-fragmen kecil—aroma, cahaya, rasa—yang membentuk cerita tentang simbah Nyai Siti Aisah Zuhdi, sosok sepuh yang akrab dalam keseharian keluarga, namun wajahnya sendiri tak pernah benar-benar tersimpan utuh dalam ingatanku.
Saat itu aku masih terlalu muda untuk memahami siapa sebenarnya simbah bagi seluruh keluarga. Yang kutahu, setiap kali menyebut kata mampir, selalu ada kehangatan yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Jarak rumah kami ke rumah simbah hanya sekitar lima ratus meter. Tidak jauh, tetapi bagi seorang anak kecil, perjalanan itu terasa seperti ritual kecil yang harus dilalui dengan keberanian. Di depan rumah simbah berdiri masjid desa, tempat suara adzan bergaung dan menjadi patokan waktu bagi seluruh kampung.
Namun setelah shalat Isya selesai dan suara orang-orang pulang perlahan mereda, jalan menuju rumah simbah berubah menjadi koridor gelap yang menelan cahaya. Tak ada lampu jalan, tak ada sinar dari rumah-rumah yang bisa menjadi penuntun. Hanya suara malam dan desir angin yang menemani langkah. Untuk sampai ke rumah simbah, aku harus melewati jembatan kecil yang membentang di atas sungai dangkal. Pada malam-malam tertentu, suara aliran air terdengar seperti bisikan, membuat anak kecil seperti aku mempercepat langkah sambil menggenggam rasa takut yang tak pernah diucapkan.
Sesampainya di rumah simbah, suasana berubah sepenuhnya. Gelap di luar digantikan cahaya temaram sentir—kaleng bekas yang diisi minyak tanah, diberi sumbu kecil yang membara pelan. Sentir itu tidak hanya menjadi penerang ruangan, tetapi seperti pemilik napas sendiri: berkedip-kedip, bergoyang tertiup angin, lalu memantulkan bayangan bergerak di dinding. Cahaya kuning keemasannya mengurung ruangan dalam kehangatan yang sunyi, sekaligus menyisakan bayang-bayang yang membuat sudut-sudut tampak menua lebih cepat dari waktu.
Asap hitam tipis dari api kecil itu memenuhi ruangan dan meninggalkan aroma khas—paduan minyak tanah, kayu lama, dan udara yang tak sepenuhnya kering. Di sudut ruangan, sebuah ranjang kayu tua berdiri. Tirai putih yang melingkupinya selalu menjadi pemandangan pertama yang mengisi ingatan. Tirai itu bergerak pelan setiap kali angin malam menerobos celah atap, seolah menyapaku dan mengabarkan bahwa simbah terbaring di baliknya.
Di samping ranjang selalu ada seseorang yang menemani—entah anggota keluarga, entah tetangga dekat yang kebetulan sedang giliran menjaga. Dalam budaya Jawa, menemani orang sepuh bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk penghormatan yang halus: menjaga agar mereka tidak merasa sendirian pada jam-jam ketika tubuh menua mulai sering berdialog dengan sunyi.
Dan di antara semua fragmen ingatan itu, ada satu yang paling jelas: makanan kesukaan simbah—srondeng. Hidangan sederhana dari parutan kelapa yang digoreng dengan gula dan rempah, rasanya manis-gurih dan mudah dibuat. Setiap kali kami datang, selalu ada srondeng yang disiapkan. Entah bagaimana, rasa itu menjadi penanda bahwa aku sudah sampai di rumah simbah, bahwa kunjunganku tak pernah dianggap merepotkan. Kadang srondeng disajikan dengan nasi hangat, kadang hanya dimakan begitu saja, tetapi bagiku saat itu rasanya seperti hidangan istimewa yang tak ditemukan di tempat lain.
Kini, puluhan tahun kemudian, wajah simbah mungkin tetap kabur dalam ingatanku. Namun rumah tua dengan tirai putih, cahaya sentir yang berkerlip seperti mata yang hendak tidur, aroma asap tipis yang menggantung di udara, dan rasa srondeng yang melekat di lidah—semuanya justru jauh lebih hidup. Fragmen-fragmen itu menjadi jembatan waktu, mengajak aku kembali ke masa ketika dunia begitu sederhana: berjalan ke rumah simbah, melewati jembatan gelap, dan duduk dalam cahaya redup yang seakan menjaga cerita keluarga agar tetap menyala.
Di titik itu aku menyadari, kenangan masa kecil bukan soal kejelasan, tetapi soal kehangatan yang ditinggalkannya. Dan di rumah simbah, kehangatan itu berasal dari hal-hal kecil: dari cahaya kecil yang tidak pernah padam, dari seseorang yang selalu menemani, dari sepiring srondeng yang setia menunggu kedatangan kami.

