LESINDO.COM – Malam perlahan turun di Bukit Ungasan. Dari kejauhan, siluet raksasa Garuda Wisnu Kencana (GWK) mulai memantulkan cahaya. Kilau lampu menari di permukaan patung setinggi 121 meter itu, menghadirkan bayangan agung di langit Bali bagian selatan. Dari atas kawasan taman budaya ini, Denpasar tampak seperti hamparan permata—lampu kota berkelap-kelip di antara gelap bukit dan garis tipis cahaya laut Jimbaran.
Suara gamelan samar terdengar dari arah panggung terbuka, berpadu dengan desir angin yang membawa aroma dupa dan bunga kamboja. Di sela bebatuan kapur yang menjulang, para pengunjung berjalan perlahan, sebagian berhenti untuk memotret, sebagian lainnya sekadar duduk menikmati malam. GWK di malam hari bukan sekadar tempat wisata; ia menjelma ruang kontemplasi tentang harmoni antara kebesaran manusia dan keagungan alam.

Cahaya sorot lampu menelusuri permukaan patung Dewa Wisnu yang menunggang Garuda, memantulkan gradasi warna keemasan dan perunggu. Dari bawah, bayangan itu tampak hidup — seolah sang Dewa tengah mengawasi Bali yang beristirahat di bawahnya. “Kalau malam, GWK seperti punya jiwa lain,” ujar Made Sutama, salah satu petugas keamanan yang telah bekerja di sini lebih dari sepuluh tahun. “Siang ramai dengan wisatawan, tapi malam terasa sakral. Lebih tenang, lebih menyentuh.”
Dari ketinggian taman budaya ini, pandangan mata bisa menjangkau hingga pesisir Jimbaran dan Kuta. Lampu-lampu hotel di tepi pantai tampak seperti rantai cahaya yang berkelok lembut di pinggir laut. Sementara di arah utara, lampu kendaraan di jalan By Pass Ngurah Rai membentuk garis panjang, seolah menggambar nadi kehidupan Pulau Dewata.
Bagi banyak orang, malam di GWK adalah waktu terbaik untuk menikmati keseimbangan antara keindahan modern dan spiritualitas Bali. Di satu sisi, taman ini berdiri sebagai karya megah peradaban manusia; di sisi lain, nuansa religius masih kental, mengingatkan bahwa kemegahan tak selalu lahir dari beton dan baja, tapi juga dari keyakinan dan doa.
“Ketika lampu sorot memantul di patung Garuda, rasanya seperti melihat harapan,” kata Ayu Lestari, penari yang sering tampil di panggung GWK. “Bagi kami, GWK bukan hanya monumen — tapi simbol bahwa budaya Bali tetap hidup, bahkan di tengah gemerlap malam.”
Menjelang tengah malam, ketika sebagian pengunjung mulai meninggalkan area, GWK masih berdiri megah di bawah langit bertabur bintang. Di kejauhan, Denpasar tetap berkelip, dan cahaya dari tubuh Garuda seolah berbicara dalam bahasa diam: bahwa dari ketinggian bukit kapur ini, Bali masih menjaga rohnya, di antara kemajuan dan kenangan. (Made)

