LESINDO.COM – Kabut pagi baru saja terangkat ketika saya tiba di pasar kecil di lereng Dieng. Dari kejauhan, keranjang-keranjang biru yang berisi cabe gendot tampak seperti titik-titik hijau yang mencolok di antara warna tanah dan sayuran pegunungan. Saya ikut duduk di dekat seorang ibu penjual, Bu Rini, yang sedang menata dagangannya.
“Iki dudu lombok sembarang lombok, Nak. Iki gendot. Pedese alus, ning nggragas neng mburi,” katanya sambil tersenyum—pedasnya pelan, tapi menggigit di akhir. Ucapannya mengandung rasa bangga, seakan cabe gendot adalah bagian dari identitas yang tak bisa dipisahkan dari tanah tempat mereka hidup.
Pengamatan Partisipatif di Ladang
Beberapa hari sebelumnya, saya mengikuti Pak Darto, seorang petani cabe gendot, berjalan menaiki lereng kebunnya. Tanah basah, dingin merayap hingga pergelangan tangan. Selama memetik, ia menunjukkan satu buah yang warnanya mulai jingga.
“Warna iki ngandhani yen seminggu iki hawa luwih anget. Biasane nek wes rada abang ngene, awan ora ketutup kabut terus-terusan.”
(Warna ini memberi tahu bahwa minggu ini udara sedikit lebih hangat. Biasanya kalau sudah agak kemerahan begini, siang hari tidak selalu tertutup kabut.)
Ini bukan sekadar pengamatan pertanian; ini adalah cara membaca musim melalui perubahan kecil pada warna cabai. Dalam budaya agraris pegunungan, alam berbicara pelan, dan petani belajar mendengarnya dengan sabar.
Di Dapur Rumah Warga

Sore hari, saya diajak masuk ke dapur kecil rumah Bu Narti. Ia menumbuk cabe gendot dengan garam dan sedikit bawang jawa dalam cobek batu. Aroma pedas-wangi langsung memenuhi ruangan yang hangat oleh tungku kayu.
“Anak-anakku nek adhem-adhem mesti njaluk sambel iki. Pedese ora langsung njedug, nanging gawe awak anget… kaya dipeluk gunung.”
(Anak-anakku kalau kedinginan pasti minta sambal ini. Pedasnya tidak langsung menghentak, tapi membuat badan hangat… seperti dipeluk gunung.)
Perlu waktu beberapa saat sebelum saya menyadari bahwa bagi keluarga ini, cabe gendot bukan sekadar bumbu, tetapi mekanisme adaptasi tubuh di daerah yang dinginnya bisa menembus selimut.
Interaksi Sosial di Pasar
Mengamati transaksi di pasar, saya menyadari bahwa tawar-menawar cabe gendot berlangsung tanpa suara keras atau urgensi. Seorang pembeli berkata pelan kepada penjual:
“Piye, Bu, rong puluh oleh piro? Nanging anakmu sing loro sehat ta saiki?”
(Dialognya tak hanya tentang harga, tetapi tentang kesehatan keluarga penjual.)
Pembelian cabe gendot berubah menjadi ruang pertukaran cerita dan perhatian, sebuah praktik sosial yang menguatkan relasi antarwarga. Di sini, cabe bukan sekadar komoditas; ia menjadi alasan percakapan, cara menjaga keakraban, dan jembatan antara kebutuhan ekonomi dan kehangatan komunitas.
Aroma tanah basah, dinginnya kabut, hubungan yang terjalin di pasar, dan tangan-tangan yang menumbuk sambal di dapur—semuanya berpadu membentuk kehidupan sosial cabe gendot. Ia adalah tanaman kecil yang mengikat manusia dengan tanahnya, cuacanya, dan satu sama lain. (Dil)

