LESINDO.COM – Bagi warga kota Solo dan Solo Raya yang tumbuh besar pada era 1980–1990-an, bus tingkat bukan sekadar moda transportasi. Ia adalah ikon kota, simbol modernitas, sekaligus bagian dari cerita masa kecil yang sulit dilupakan. Bus tingkat pertama kali hadir di Solo sekitar tahun 1983, ketika pemerintah kota berusaha menghadirkan angkutan massal yang berbeda. Dengan bodi dua tingkat dan warna khas merah-biru, bus ini langsung mencuri perhatian. Banyak anak-anak yang selalu berebut kursi di lantai dua, sekadar ingin merasakan sensasi melihat jalan raya dari ketinggian.
Selain menjadi sarana transportasi, bus tingkat juga punya nilai emosional. Bagi sebagian keluarga, naik bus ini adalah hiburan murah meriah di akhir pekan. Tak jarang, orang tua mengajak anak-anak berkeliling kota, menyusuri rute favorit bus tingkat: mulai dari kawasan Gladag, menyusuri jalan utama Slamet Riyadi, melewati ikon kota seperti Balai Kota, Sriwedari, hingga berputar ke arah Manahan. Rute itu seakan menjadi panggung terbuka bagi penumpang, yang bisa menikmati wajah kota Solo dari ketinggian.

“Waktu kecil saya sering diajak bapak naik bus tingkat. Rasanya senang sekali bisa duduk di lantai dua, melihat lampu kota di malam hari. Itu pengalaman yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan,”. Tutur Evi Widiyani pedagang di Pasar Gede.
“Kalau dulu naik bus tingkat itu pas jaman SMA berangat dan pulang pulang sekolah. Selain murah juga sebagai hiburan, sekarang sudah tidak ada, rasanya kangen sekali,” kenang Agus Parwoko (53), warga Laweyan
Namun, seiring waktu, keberadaan bus tingkat mulai meredup. Masalah operasional, biaya perawatan yang mahal, hingga kalah bersaing dengan moda transportasi baru membuatnya satu per satu berhenti beroperasi. Hingga akhirnya, bus tingkat benar-benar menghilang dari jalanan Solo.
Meski demikian, kenangan itu masih melekat di benak masyarakat. Beberapa komunitas pecinta transportasi bahkan masih menyimpan foto-foto lama bus tingkat, sementara cerita nostalgia terus diwariskan dari generasi ke generasi. Kehadirannya yang singkat justru menjadikannya lebih berharga, karena meninggalkan jejak kuat dalam memori kolektif warga kota.
Kini, ketika Solo berkembang dengan kereta bandara, Batik Solo Trans, hingga layanan transportasi daring, kisah bus tingkat menjadi pengingat bahwa moda transportasi bukan hanya soal fungsi, tapi juga soal rasa dan kenangan yang menyatukan orang-orang dalam perjalanan dan kini tinggan kenangan. (Jih)

