spot_img
BerandaBudayaBumi Mengirim Surat Teguran: Cilacap, Banjarnegara, dan Kita yang Tak Pernah Belajar

Bumi Mengirim Surat Teguran: Cilacap, Banjarnegara, dan Kita yang Tak Pernah Belajar

Akhirnya, ketika tanah longsor terjadi di Banjarnegara, ketika banjir menyergap sudut-sudut Cilacap, itu bukan sekadar musibah. Itu pengingat bahwa hubungan manusia dan alam kini seperti pasangan yang sudah terlalu sering salah paham—dan sayangnya, manusialah yang jarang mau minta maaf.

Oleh : Lembayung

Di Cilacap dan Banjarnegara, tanah sedang belajar bicara. Sayangnya, ketika giliran alam yang bersuara, manusia justru paling lambat paham artinya. Longsor yang menyapu rumah, banjir yang naik seperti tamu tak diundang, hingga gunung yang mengirim hawa panas—semua itu bukan sekadar peristiwa, melainkan semacam “surat teguran” dari bumi. Surat yang entah ke berapa, karena manusia tampaknya hanya rajin membaca pada menit pertama lalu lupa di halaman berikutnya.

Tanah di lereng Banjarnegara, misalnya, kini seperti seorang simbah yang kelelahan. Sudah berkali-kali memberi isyarat: retakan, gemerisik kecil, atau mata air yang tiba-tiba keruh. Tapi manusia tetap saja membangun rumah di tempat yang sama, seolah tanah tak punya hak untuk berubah pikiran. “Simbahmu iki yo butuh napas to, Le…,” mungkin begitu keluh tanah jika bisa menggerutu dengan bahasa manusia.

Cilacap pun tak mau kalah menegur. Hujan deras turun berhari-hari, air menggenang, sungai meluap. Alam sebenarnya hanya sedang mengembalikan air ke tempat asalnya—ke dataran rendah yang dulu rawa, ke jalur larian air yang dulu pernah disumbat beton. Tapi manusia malah heran dan sibuk bertanya, “Kok banjir meneh?” Padahal jawabannya sederhana: karena manusia, dengan penuh percaya diri, memindahkan peradaban tepat di jalur air yang telah bekerja ribuan tahun sebelum kita lahir.

Di tengah semua itu, pertanyaan besar pun muncul: mengapa alam seolah sudah tidak mau bersahabat lagi dengan manusia?
Pertanyaan yang tampak filosofis padahal jawabannya sangat sehari-hari: karena manusia lupa bahwa bersahabat itu saling menjaga, bukan hanya menuntut.

Dalam falsafah Jawa, manusia diajari untuk urip “selaras, serasi, seimbang.”
Tapi hari ini kita lebih ahli membuat tiga hal itu tidak terjadi secara bersamaan.

Pohon ditebang agar pemandangan rumah lebih instagramable. Gunung dikeruk agar proyek cepat jalan. Sungai dipersempit demi menambah lahan parkir. Lalu ketika banjir datang? Kita marah. Kita bertanya: “Kenapa alam begini?”
Alam mungkin ingin menjawab dengan gaya khas orang Jawa:
“Yo piye, Le… kowe sing mulai dhisik.”

Satirnya adalah: manusia ingin alam tetap ramah, tapi tidak ingin berhenti merusak. Kita ingin tanah tetap kokoh, tapi diam-diam mencabut akar pohon yang mengikatnya. Kita ingin udara sejuk, tapi membakar sampah di halaman rumah sambil ngopi.

Akhirnya, ketika tanah longsor terjadi di Banjarnegara, ketika banjir menyergap sudut-sudut Cilacap, itu bukan sekadar musibah. Itu pengingat bahwa hubungan manusia dan alam kini seperti pasangan yang sudah terlalu sering salah paham—dan sayangnya, manusialah yang jarang mau minta maaf.

Mungkin alam belum berhenti bersahabat.
Ia hanya sedang menjaga jarak.

Dan seperti hubungan apa pun yang renggang, semua tergantung pada kita: mau memperbaiki atau terus pura-pura lupa bahwa harmoni itu butuh dua pihak, bukan satu.

Kalau kita masih bersikeras tak belajar, jangan kaget bila suatu hari tanah benar-benar “teriak” bukan lewat retakan, tapi lewat bencana yang tak lagi memberi aba-aba.
Karena alam, sebagaimana simbah-simbah Jawa bilang,
“yen wis kebacut, ora bakal ngomong maneh.”

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments