Fenomena sosial yang diwariskan sejak awal kehidupan, dan masih menorehkan luka di ruang-ruang modern.
Sejak Awal Peradaban, Manusia Sudah Membully Sesamanya
LESINDO.COM – Bullying sejatinya bukan fenomena baru. Dalam kisah keagamaan, sejarah awal manusia telah mencatat peristiwa tragis saat Qabil membunuh Habil—saudaranya sendiri. Itulah pertama kalinya bumi menyaksikan darah manusia mengalir karena rasa iri dan superioritas. Dari sana, jejak penindasan pun seolah menjadi bagian dari sejarah panjang umat manusia.
Kini, bentuk-bentuk bullying memang berganti rupa. Dalam skala besar, negara kuat menekan negara lemah melalui kekuasaan ekonomi, politik, atau militer. Negara miskin dipaksa tunduk, seolah menjadi korban dalam permainan global yang tidak seimbang. Bentuknya berbeda, tetapi hakikatnya tetap sama: yang kuat menindas yang lemah.
Sekolah: Cermin Kecil dari Dunia yang Lebih Besar
Di tingkat yang lebih kecil, praktik perundungan paling sering terlihat di lingkungan sekolah. Ironisnya, sekolah yang seharusnya menjadi ruang pembentukan moral justru menjadi tempat subur tumbuhnya perilaku saling merendahkan.
Sebagian siswa merasa lebih unggul karena senioritas, kepintaran, fisik yang besar, atau latar belakang ekonomi keluarga. Mereka memandang diri sebagai pusat kekuasaan kecil, sementara siswa lain diposisikan sebagai objek lemah.
Padahal, pendidikan moral dan tata krama sudah diajarkan sejak dini di ruang kelas.
Namun, menurut Dr. Siti Nurlaila, psikolog pendidikan dari salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta, “Sekolah hanya bisa menjadi rem sementara. Pondasi moral dan ketahanan mental anak justru dibangun di rumah. Lingkungan keluarga adalah benteng pertama yang menentukan apakah anak akan menjadi pelaku atau korban bullying.”
Rumah: Pondasi Karakter dan Mental Anak

Keluarga memiliki peran sentral dalam membentuk karakter anak. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan komunikasi terbuka cenderung memiliki daya tahan mental yang kuat. Sebaliknya, anak yang sering diabaikan atau mendapat tekanan emosional di rumah lebih rentan menjadi korban, bahkan bisa meniru perilaku itu di luar rumah.
“Anak harus dibekali dengan self-esteem atau harga diri yang sehat,” tambah Dr. Siti. “Kalau di rumah ia selalu diterima dan dihargai, maka ketika di luar ada tekanan, ia tidak mudah runtuh.”
Orang tua diharapkan aktif menjalin komunikasi dengan guru dan memahami kondisi anaknya di sekolah. Kepekaan orang tua terhadap perubahan perilaku anak—misalnya menjadi pendiam, murung, atau enggan ke sekolah—sering kali menjadi tanda awal adanya tekanan psikologis yang tidak boleh diabaikan.
Bullying di Dunia Dewasa
Fenomena bullying ternyata tidak berhenti di bangku sekolah. Dalam dunia kerja, praktik ini muncul dalam bentuk lain: pelecehan verbal, tekanan berlebihan dari atasan, hingga perundungan sosial di lingkungan profesional. Bahkan di institusi militer yang menjunjung kedisiplinan tinggi, kasus senior menekan junior masih kerap terjadi—beberapa berakhir tragis.
Dalam kehidupan rumah tangga pun, bullying dapat hadir dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun nonverbal. Kekuasaan dan dominasi sering kali menjadi akar masalah, sama seperti halnya di sekolah dan masyarakat luas.
Membangun Ketahanan dan Keberanian
Sistem pendidikan sebenarnya telah menyiapkan berbagai program pencegahan bullying. Namun para pelaku sering kali mencari celah, beraksi saat tidak ada pengawasan. Karena itu, selain sistem yang tegas, dibutuhkan keberanian dari korban atau saksi untuk berbicara dan melapor.
“Anak harus dibiasakan berani mengatakan tidak, dan berani mencari pertolongan ketika merasa tertekan,” ujar Dr. Siti menegaskan. “Kita tidak bisa menghapus bullying sepenuhnya, tapi kita bisa membangun generasi yang tangguh dan berani menolak ketidakadilan.”
Harapan dari Kesadaran Kecil
Selama dunia masih berputar, mungkin bullying tidak akan pernah benar-benar lenyap. Namun, selama masih ada orang tua yang peduli, guru yang berjiwa mendidik, dan anak-anak yang berani bersuara, harapan itu tetap ada.
Bullying bisa ditekan, luka bisa disembuhkan, dan dunia yang lebih manusiawi masih bisa diperjuangkan—dimulai dari ruang kecil bernama rumah. (Din)

