LESINDO.COM – Di bawah langit biru yang membentang luas, deru mesin kapal perlahan memecah kesunyian laut. Dari geladak, tampak garis cakrawala seolah tak berujung. Bagi sebagian orang, laut hanyalah pemandangan indah dari pantai. Namun bagi pelaut, laut adalah tempat bekerja—dan sekaligus jalan untuk melihat dunia.
Kerja yang Mengantar ke Ujung Dunia
Bekerja sambil jalan-jalan mungkin terdengar seperti impian. Tapi bagi mereka yang menempuh pendidikan di sekolah pelayaran, hal itu bisa menjadi kenyataan. Dunia maritim membuka peluang besar bagi siapa pun yang berani menantang ombak dan rindu petualangan.
Sekolah-sekolah pelayaran di Indonesia, seperti Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, STIP Jakarta, atau Poltekpel Surabaya, tidak hanya melatih keterampilan teknis, tetapi juga menyiapkan generasi muda untuk berlayar ke berbagai penjuru dunia. Setelah lulus dan memperoleh sertifikat kompetensi internasional (STCW 2010), para taruna berpeluang bekerja di kapal berbendera asing—kapal tangker, kapal niaga, hingga kapal pesiar yang beroperasi lintas benua.
Menurut data Kementerian Perhubungan RI, Indonesia saat ini memiliki lebih dari 1,4 juta pelaut yang tersebar di berbagai negara. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara penyumbang pelaut terbesar di dunia. Dari jumlah itu, sekitar 485 ribu pelaut telah memiliki sertifikat internasional yang diakui oleh International Maritime Organization (IMO).
Laut sebagai Sekolah Kehidupan

Bagi pelaut muda, setiap pelabuhan adalah cerita baru. Dari Singapura hingga Rotterdam, dari Dubai hingga Tokyo, mereka bukan hanya bekerja mengantarkan muatan, tetapi juga belajar tentang budaya, bahasa, dan disiplin global. “Rasanya luar biasa bisa melihat dunia dengan mata kepala sendiri,” tutur Riko, seorang pelaut asal Surabaya yang kini bekerja di kapal tangker berbendera Panama. “Kadang kami berlayar berminggu-minggu tanpa melihat daratan. Tapi begitu tiba di pelabuhan baru, semua lelah langsung hilang.”
Riko adalah satu dari ribuan anak muda Indonesia yang memilih jalur karier di laut. Dengan kerja keras dan sertifikat yang diakui internasional, ia kini menjadi bagian dari sistem logistik dunia—penghubung antarnegara melalui samudra luas.
Tantangan di Balik Romantisme Samudra
Namun kehidupan pelaut tidak selalu seindah cerita wisata. Mereka sering kali harus meninggalkan keluarga berbulan-bulan, menghadapi cuaca ekstrem, dan beradaptasi dengan awak kapal dari berbagai bangsa. Laut bisa menjadi kawan sekaligus ujian.
Data dari International Chamber of Shipping (ICS) menyebutkan, lebih dari 1,89 juta pelaut bekerja di kapal niaga internasional di seluruh dunia. Kompetisi ketat, standar keselamatan tinggi, serta tuntutan disiplin menjadi keseharian yang tak bisa dihindari. Meski begitu, bagi sebagian besar pelaut, pengalaman itu justru menjadi bekal berharga. Mereka belajar tentang ketahanan diri, tanggung jawab, dan solidaritas tanpa batas negara.
Pelaut: Duta Tak Resmi Indonesia
Tak jarang, para pelaut disebut sebagai “duta tak resmi” Indonesia di lautan dunia. Mereka membawa nama bangsa, sekaligus memperlihatkan etos kerja orang Indonesia di panggung global.
Laut bukan lagi batas, tapi jembatan menuju kesempatan baru.
“Kalau masih muda, berlayarlah sejauh mungkin,” pesan seorang instruktur di SMK Pelayaran Kartasura. “Kamu mungkin akan merasakan sepi, tapi suatu hari nanti, setiap pelabuhan yang pernah kamu singgahi akan menjadi cerita yang tak ternilai.”
Laut, Pintu Menuju Dunia
Menjadi pelaut bukan hanya tentang mencari nafkah, tapi juga tentang menemukan makna hidup di tengah gelombang. Dari balik kabin dan dek kapal, para pelaut muda menulis kisah mereka sendiri—kisah tentang kerja keras, pengorbanan, dan mimpi melihat dunia. Dan kelak, ketika mereka kembali ke daratan, sudah banyak samudra yang mereka taklukkan, banyak negara yang mereka singgahi, dan banyak cerita yang bisa mereka wariskan. (mac)