LESINDO.COM-“Ketika hati sudah pasrah, semesta terasa lebih damai,” ujar seorang lelaki paruh baya di sudut masjid yang teduh, selepas menunaikan salat Subuh.
Matanya menatap kosong ke langit yang mulai berwarna keemasan. Di wajahnya, ada gurat tenang yang sulit dijelaskan, seolah hidup tak lagi menjadi beban yang harus dilawan.
Kata-katanya sederhana, tapi di balik itu tersimpan makna mendalam: tentang kepasrahan, tentang ikhlas, dan tentang bagaimana manusia belajar berjalan seirama dengan takdir Tuhan.
Menemukan Ketenangan di Tengah Gelombang

Di tengah dunia yang penuh hiruk-pikuk, banyak hati yang tenggelam dalam ambisi dan kekhawatiran.
Kita berlari mengejar keinginan, menolak kehilangan, menentang arah hidup yang tak sesuai rencana. Namun semakin keras kita melawan, semakin letih jiwa dibuatnya.
Kepasrahan bukan bentuk kekalahan, tapi kebijaksanaan jiwa yang telah lelah bertarung dengan ego.
Mereka yang telah sampai pada titik pasrah bukan berarti berhenti berjuang, melainkan memahami bahwa perjuangan sejati adalah menjaga hati tetap tenang di tengah badai.
Seorang ulama pernah menuturkan, “Pasrah itu bukan menyerah tanpa daya, tapi menyerahkan hasil setelah upaya.”
Inilah perbedaan halus namun mendalam antara pasrah dan putus asa. Yang satu bersumber dari cahaya iman, yang lain lahir dari kegelapan harapan.
Berjalan Bersama, Bukan Melawan Takdir
Dalam hidup, sering kali kita berusaha mengatur segalanya sesuai kehendak. Namun hidup tak selalu searah dengan rencana manusia.
Ada waktu di mana kehilangan menjadi guru, luka menjadi penuntun, dan takdir menjadi jalan pulang bagi jiwa yang mulai sadar akan keterbatasannya.
Saat seseorang belajar berjalan bersama takdir, bukan melawannya, maka semesta pun menjadi lebih ramah.
Langit tampak lebih luas, langkah terasa ringan, dan hati berhenti menggugat keputusan Tuhan.
Sebab dalam setiap peristiwa, baik suka maupun duka, selalu tersimpan maksud kasih dari Sang Maha Bijaksana.
Kepasrahan: Jalan Sunyi Menuju Cinta Ilahi
Di titik terdalam perjalanan spiritual, kepasrahan menjadi bentuk cinta tertinggi kepada Tuhan.
Tidak lagi ada tuntutan atau keluhan, hanya ada keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari skenario terbaik Ilahi.
Dalam keheningan malam, mereka yang hatinya telah pasrah sering berbicara dalam doa tanpa suara:
“Ya Tuhan, bukan karena aku kuat aku bertahan, tapi karena aku telah Kau tenangkan.”
Dan di sanalah kedamaian itu tumbuh—tidak bising, tidak mencolok, tapi hangat dan lembut seperti cahaya pagi yang menyentuh bumi.
Hati yang pasrah telah menemukan rumahnya: berjalan bersama takdir, menuju ridha dan cinta Tuhan yang abadi. (Den)

