spot_img
BerandaHumanioraBenteng Pendem Cilacap — Jejak Yang Tertimbun, Ingatan Yang Tak Pernah Padam

Benteng Pendem Cilacap — Jejak Yang Tertimbun, Ingatan Yang Tak Pernah Padam

Namun sejarah memiliki sifat ironis. Ketika fungsinya tak lagi vital, Benteng Pendem justru mulai dilupakan. Tertimbun tanah, ditumbuhi semak, diabaikan oleh pemerintah. Hingga tahun 1980-an, sebagian besar tubuhnya betul-betul ‘menghilang’, seperti tubuh tua yang merunduk di bawah pasir.

LESINDO.COM – Angin dari Teluk Penyu selalu membawa rasa asin yang lembut, seperti mengabarkan sesuatu dari masa lampau. Di antara pohon ketapang yang menggantungkan bayang panjang, berdirilah Benteng Pendem—sebuah bangunan yang seakan menyimpan napas panjang sejarah yang pernah dikubur tanah, namun tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.

Pagi itu, seorang bapak petugas wisata—berkulit legam dan bertopi lusuh—menunjuk sebuah lubang gelap yang mengarah ke terowongan. “Niki, Mas… jalane jaman Landa. Dulu ketimbun kabeh. Wong sinambi mlebu, rasane kaya ngunjuk banyu wektu,” ujarnya sambil terkekeh kecil. Ada nada bangga sekaligus segan, seperti sedang menceritakan tentang leluhur yang kembali bangun dari tidur panjangnya.

Benteng yang Lahir dari Ketakutan dan Strategi

Pada tahun 1861, Belanda membangun benteng ini di tanah sempit pesisir Cilacap. Mereka menyebutnya Kustbatterij op de Landtong te Tjilatjap, sebuah nama yang berusaha menyembunyikan kecemasan kolonial terhadap kemungkinan serangan musuh dari Samudra Hindia. Cilacap kala itu bukan sekadar kota pelabuhan: ia adalah gerbang strategis, pelindung jalur laut menuju pedalaman Jawa.

Untuk melindungi wilayah kekuasaan, Belanda memilih cara yang unik: menanam benteng ke dalam tanah. Sebagian besar dindingnya ditimbun pasir, lorong-lorongnya ditanam di bawah permukaan bumi, dan meriam-meriamnya diposisikan seolah menjadi bagian dari gundukan bukit. Dari jauh, ia tak tampak seperti bangunan. Ia lebih mirip perut bumi yang menyembunyikan rahasia besi.

Maka lahirlah istilah yang kini melekat: Benteng Pendem.

Dan memang, sejarahnya sempat benar-benar terkubur.

Bayang-bayang Perang dan Pergantian Penguasa

Semakin masuk ke area benteng, ruang terbuka terbelah oleh sebuah kolam. Airnya membentuk batas alami, seakan menjadi parit sunyi yang dulu berfungsi sebagai pertahanan, kini menjelma cermin bagi langit dan pepohonan di sekitarnya. Di sinilah kesan “pendem” terasa: benteng ini tidak meninggi, melainkan merunduk, menyatu dengan tanah dan waktu.(mc)

Sejak berdiri hingga 1942, benteng ini menjadi rumah bagi serdadu Belanda. Di sini mereka tinggal, menyusun strategi, menyimpan amunisi, dan mengawasi laut yang tak pernah benar-benar ramah. Pada masa Jepang masuk ke Nusantara, benteng ini sempat dikuasai, meski dokumentasi resminya tetap samar-samar, seperti lorong-lorongnya yang gelap.

Setelah kemerdekaan, benteng kembali dihuni tentara—kali ini milik negeri sendiri. Tentara Indonesia memanfaatkannya sebagai area latihan. Suara sepatu lars pernah bergema di ruangan yang sama dengan langkah para prajurit Belanda puluhan tahun sebelumnya.

Namun sejarah memiliki sifat ironis. Ketika fungsinya tak lagi vital, Benteng Pendem justru mulai dilupakan. Tertimbun tanah, ditumbuhi semak, diabaikan oleh pemerintah. Hingga tahun 1980-an, sebagian besar tubuhnya betul-betul ‘menghilang’, seperti tubuh tua yang merunduk di bawah pasir.

Penggalian Kenangan yang Pernah Terkubur

Barulah pada 1986, pemerintah daerah bersama masyarakat setempat melakukan pemugaran besar-besaran. Mereka menggali lapis demi lapis tanah yang mengubur bangunan ini puluhan tahun lamanya. Setiap sekop yang mencungkil pasir seolah membangunkan kembali kisah yang lama tertidur.

“Sakjane kaget, Mas… benteng iki gedhé tenan. Dulu yo ora katon blas,” kata seorang warga yang terlibat penggalian, seperti dikutip sebuah arsip lokal.

Dan benar. Setelah dibersihkan, barulah terlihat ruang amunisi, barak, klinik kecil masa kolonial, penjara, hingga terowongan sepanjang lebih dari seratus meter. Ada lorong yang lembap, ruang tahanan dengan dinding tebal, dan jendela kecil yang menatap laut selatan.

Seakan masa lalu membuka pintunya sendiri.

Pada tahun 1987, Benteng Pendem resmi dijadikan objek wisata sejarah.

Jejak yang Tak Sekadar Kolonial

Setelah melewati pintu gerbang, suasana di dalam benteng berubah drastis. Udara terasa lebih lembap, langkah kaki menggema pelan di lorong-lorong tua, dan dinding tebal seolah menyimpan bisik sejarah yang tak pernah benar-benar pergi. Benteng Pendem bukan sekadar bangunan militer peninggalan kolonial—ia adalah ruang hening, tempat masa lalu menunggu untuk didengarkan, bukan sekadar dilihat.(mc)

Di balik dinding batu yang dingin, banyak kisah yang lebih manusiawi. Para penjaga yang dulu bertugas, masyarakat yang terlibat penggalian, anak-anak sekolah yang datang berkunjung—semuanya ikut menambahkan lapisan baru pada makna benteng ini.

Benteng Pendem bukan hanya tentang kolonialisme dan perang. Ia adalah tentang bagaimana sebuah ruang, betapapun gelap dan terkuburnya, bisa kembali memberi terang bagi generasi sekarang.

Di sisi barat, suara debur ombak Teluk Penyu memukul karang, seperti ritme waktu yang tak pernah berhenti. Di sisi timur, Nusa Kambangan berdiri seperti penjaga tua. Banyak cerita tentang terowongan bawah laut yang menghubungkan keduanya—sebagian mitos, sebagian harapan, sebagian lagi sekadar bisik-bisik warga yang diwariskan dari kakek-nenek mereka.

Dan seperti banyak mitos Jawa lainnya, kebenaran bukan soal logika, melainkan soal kepercayaan yang diwariskan.

Kini: Ruang Wisata, Ruang Belajar, Ruang Renungan

Benteng Pendem hari ini mungkin tampak sebagai tempat wisata. Anak-anak berfoto di depan dinding tebal, pasangan muda berjalan di bawah lorong, dan pedagang kelapa muda berdiri di luar pagar dengan teriakan khas Cilacap: “Es degan segerrr…!”.

Namun bagi sebagian orang, benteng ini lebih dari itu.

Ia adalah pengingat bahwa sejarah tidak selalu disimpan di museum yang wangi dan terang benderang. Kadang sejarah justru tertidur di bawah tanah, menunggu orang-orang yang cukup sabar untuk menggali.

Benteng Pendem bukan hanya cerita tentang Belanda atau perang. Ia adalah kisah tentang manusia—yang datang, pergi, membangun, menghancurkan, melupakan, lalu menemukan kembali.

Dan seperti ombak di Teluk Penyu, ia akan terus membawa cerita itu, ke mana pun angin membawa bau asin lautnya. (Jih)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments