spot_img
BerandaBudayaBencana Datang, Kita Menyalahkan Langit—Padahal Pelakunya Cermin

Bencana Datang, Kita Menyalahkan Langit—Padahal Pelakunya Cermin

Korban jatuh. Infrastruktur rusak. Jalan terputus. Tapi anehnya, setiap bencana berlalu kita kembali lupa. Membangun ulang fasilitas itu penting, tapi membangun karakter jauh lebih penting. Tanpa itu, ya kita akan terus mengulang pola yang sama: begitu bumi batuk sedikit, kita panik; begitu bantuan macet, kita ngamuk; begitu ada kesempatan, kita incar rak-rak swalayan.

Oleh Ratih Arunika

Ada yang Salah, Tapi Entah di Mana Letaknya

Entah seperti benang kusut sing mbulet nganti gemblung, kita tak tahu harus menarik ujung dari mana. Yang jelas: bencana demi bencana datang seperti notifikasi WA grup keluarga—tak bisa dimute dan munculnya tiap lima menit. Rasanya miris, tetapi barangkali alam hanya sedang memantulkan energi yang kita pancarkan: kita kirim negatif, ya dibales negatif. Wong kertas karbon wae bisa njiplak, apalagi semesta.

Di Tapanuli Selatan, sebuah swalayan habis dijarah. Bukan hanya mie instan dan air mineral, tapi juga barang-barang yang ora ono hubungane karo isi perut—sikat gigi listrik, wajan anti lengket, sampai boneka beruang raksasa ikut ilang. Ratusan orang menyerbu seperti lagi latihan baris-berbaris versi chaos. Para penjaga? Yo wis, nyerah. Wong lawan massa itu sama saja lawan gelombang pasang.

Kalau yang diambil makanan—ya wis, masih bisa dipikir dengan logika perut kosong. Tapi ketika rice cooker dan parfum juga ikut raib, ini bukan lagi perut, tapi hasrat belanja yang selama ini terpendam. Ternyata, dalam kondisi darurat, manusia bisa berubah cepat: logika libur, akal sehat cuti, tinggal alam bawah sadar yang ON.

Ada yang salah dengan negeri ini. Entah sekolahnya, pendidikan moralnya, atau cara kita beragama yang kadang lebih sibuk debat surga–neraka daripada memikirkan bagaimana tetap waras dan beradab. Kelaparan memang bisa membuat orang gelap mata, tetapi tetap saja itu bukan tiket untuk mengambil barang orang. Kalaupun terpaksa… meminta lebih terhormat daripada menjarah. Nggak keren, tapi ya jelas lebih manusiawi.

Ironisnya, perilaku menjarah itu sebenarnya cuma versi kecil dari apa yang sering dipertontonkan para pengambil kebijakan. Kalau rakyat menjarah swalayan, pejabat menjarah negara—lebih rapi, lebih sistematis, dan biasanya pakai dasi. Rakyat di-framing kriminal; elit tinggal bilang “ini hanya kekhilafan administratif”. Selesai.

Alam pun ikut-ikutan lesu melihat kelakuan kita. Hutan dibabat, sungai diperas, gunung dilukai. Giliran bencana datang—banjir, longsor, jembatan hanyut—kita sok bingung. Padahal alam ini cuma kayak tetangga depan rumah: ndelok kita buang sampah sembarangan, besok langsung ngirim peringatan.

Korban jatuh. Infrastruktur rusak. Jalan terputus. Tapi anehnya, setiap bencana berlalu kita kembali lupa. Membangun ulang fasilitas itu penting, tapi membangun karakter jauh lebih penting. Tanpa itu, ya kita akan terus mengulang pola yang sama: begitu bumi batuk sedikit, kita panik; begitu bantuan macet, kita ngamuk; begitu ada kesempatan, kita incar rak-rak swalayan.

Ada yang salah dengan negeri ini. Masyarakatnya lelah, mental ikut sakit, karena tiap hari disuguhi tontonan ketidakadilan versi full HD tanpa sensor. Rakyat bingung siapa yang benar, pejabat sibuk cari kambing hitam, dan kita—tanpa sadar—ikut tercemar suasana.

Kalau begitu, apa bencana akan terus menghantui? Mungkin iya. Karena kadang bencana bukan soal hujan besar atau gempa bumi, tapi soal hati manusia yang terus bocor dan tak pernah diperbaiki.

Dan pada akhirnya, muhasabah jadi jalan paling masuk akal. Wong bencana itu tidak pilih-pilih: orang baik, orang polos, orang yang cuma numpang lewat pun ikut kena imbas. Alam tak kenal jabatan.

Kalau karakter kita tak diperbaiki, ya siap-siap saja: ini negeri bisa terus naik turun seperti roller coaster—tapi tanpa sabuk pengaman, tanpa operator, dan tanpa humor… kecuali humor satir yang kita buat sendiri agar tetap waras.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments