Karena kehidupan adalah sekolah yang tak pernah libur
Setiap kali masa pembagian rapor tiba, ada aroma yang khas di ruang kelas. Wajah-wajah murid memancarkan campuran antara tegang, harap, dan pasrah. Suara langkah guru wali kelas terdengar seperti irama ketegangan yang mendebarkan. Lalu satu per satu nama disebut. Di papan tulis, deretan peringkat ditulis rapi, seolah menjadi ukuran siapa yang “cerdas” dan siapa yang “biasa-biasa saja.”
Aku masih mengingatnya.
Nama-nama yang menduduki peringkat satu hingga sepuluh selalu menjadi pusat perhatian. Mereka dielu-elukan, disebut orang tua, dan dijadikan contoh di depan kelas. Dalam pikiran kami, merekalah calon-calon orang besar di masa depan — pemimpin, dokter, insinyur, atau sosok penting yang akan dibanggakan banyak orang.
Sementara itu, di sudut-sudut kelas, ada wajah lain yang diam.
Mereka yang nilainya pas-pasan, yang sering kesulitan mengerjakan soal, atau yang mungkin tidak punya keberanian untuk berbicara di depan kelas. Mereka duduk dengan kepala tertunduk, seolah sudah menerima nasib sebagai “bukan siapa-siapa.”
Namun waktu, rupanya, punya selera humor yang lembut tapi tajam.
Ketika tahun-tahun berlalu dan kami semua menapaki jalan kehidupan masing-masing, peta keberhasilan itu berubah. Sebagian dari mereka yang dulu menjadi bintang kelas memang berhasil di bidangnya, hidup mapan dan terhormat. Tapi ada juga yang hidup sederhana, bekerja tanpa sorotan, dan menjalani hidup dengan tenang — tidak seperti yang dulu kami bayangkan.
Sebaliknya, teman-teman yang dulu tak pernah naik podium justru kini menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Ada yang menjadi wirausahawan sukses, pemimpin lembaga sosial, seniman yang karyanya dikenal, atau guru yang penuh inspirasi. Mereka yang dulu tak pernah meraih juara di atas kertas, kini justru menjadi “juara kehidupan.”
Dari sanalah aku belajar bahwa nilai bukanlah segalanya.
Bahwa angka di rapor bukan satu-satunya ukuran kecerdasan, apalagi kesuksesan.
Belajar ternyata tidak berhenti di ruang kelas. Ia tumbuh bersama waktu, melewati setiap pengalaman, kesalahan, dan keberanian untuk memperbaiki diri.
Belajar bisa berarti mengamati — melihat dengan jernih tanpa buru-buru menilai.
Belajar bisa berarti mendengarkan — membuka telinga pada cerita orang lain.
Belajar juga berarti memahami — menerima bahwa tak semua hal harus dimenangkan, kadang cukup dijalani.
Di luar bangku sekolah, kehidupan memberi pelajaran yang lebih luas. Kita belajar membaca keadaan, beradaptasi dengan perubahan, mengelola emosi, dan membangun empati. Kita belajar bahwa kesuksesan tidak selalu diukur dari jabatan, harta, atau popularitas. Kadang, sukses adalah ketika seseorang tetap bisa tersenyum meski hidup tidak mudah, tetap berbuat baik meski dunia tidak selalu adil.
Orang-orang yang terus mau belajar — dari hal-hal kecil, dari kesalahan, dari perjalanan — merekalah juara sejati.
Mereka tidak perlu sertifikat atau ranking untuk membuktikan nilai dirinya. Karena bagi mereka, belajar bukan sekadar kegiatan, melainkan cara hidup.
Kini aku semakin yakin, sekolah sejati tidak pernah tutup. Ia hidup dalam setiap langkah, setiap perjumpaan, setiap percakapan. Guru terbaik bisa datang dari mana saja: dari teman, dari kegagalan, bahkan dari kesunyian.
Kehidupan ini adalah kelas besar.
Dan kita semua — tanpa kecuali — adalah muridnya.
Selama masih mau belajar, kita tidak pernah benar-benar gagal.
Machrus Muhamad, penulis yang percaya bahwa belajar terbaik justru dimulai setelah lonceng sekolah berhenti berbunyi.


