Lift, Pintu, dan Pelajaran Kesabaran Tanpa Batas
LESINDO.COM-Di lantai 8 Hotel Olayan Golden, sekitar delapan ratus meter dari Tower Zam-Zam atau 5,4 km ke pusat baitullah suasana menjelang pulang begitu terasa. Empat pintu lift berdiri berjejer, tak pernah benar-benar sepi, selalu penuh oleh jamaah yang menunggu dengan sabar. Setiap kali pintu terbuka, pandangan mata berharap ada sedikit ruang tersisa, namun sering kali harapan itu tertutup kembali secepat pintunya menutup. Di lantai delapan itu, sabar kembali diuji. Empat pintu lift tak henti-henti membuka dan menutup, namun sering kali tanda bunyi peringatan terdengar pertanda ruang di dalamnya sudah terlalu penuh. Jamaah pun harus rela melangkah keluar lagi, menunggu giliran berikutnya dengan harapan masih ada pintu yang terbuka, membawa mereka turun ke lantai dasar.
Setiap bunyi over kapasitas seakan menjadi isyarat, bahwa perjalanan ibadah tidak hanya diukur dari langkah menuju baitullah, tetapi juga dari kesabaran kecil dalam keseharian. Menunggu lift berdiri, bahkan duduk di lantai dingin lorong hotel semuanya adalah latihan hati untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kesabaran rupanya tidak pernah memiliki batas. Ia terus diuji agar jiwa kian kuat, agar manusia kian mengerti bahwa kesabaran adalah bekal yang tak ternilai dalam perjalanan hidup.

Ada yang berdiri, menggenggam tas kecil di bahu, ada pula yang akhirnya memilih duduk di lantai, pasrah namun tetap tenang. Waktu seakan berjalan pelan di antara langkah-langkah ihram yang putih, diiringi desah nafas lelah namun bahagia. Menunggu lift pun menjadi bagian dari perjalanan, mengajarkan arti kesabaran, sekaligus mengikat kenangan sederhana di tanah suci bahwa setiap detik, bahkan saat duduk menanti pintu terbuka, adalah bagian dari ibadah yang berharga.
Rasanya ingin segera terbang, melayang pulang seakan nada lagu wajib karya Ibu Sud “Tanah Airku Tidak Kulupakan” ikut bergaung di dada. Lagu itu yang sering menjadi penyemangat suporter Indonesia saat laga sepak bola baik saat menang maupun kalah tetap berkumandang, menyatukan kerinduan yang sama pulang. Namun di sini, di depan pintu-pintu lift yang tak kunjung memberi ruang karena penuh sesaknya penghuni, kerinduan itu kian terasa dalam. Setiap bunyi pintu yang tertutup seakan menunda langkah menuju tanah tercinta.
Tanah Airku, tidak kulupakan,
’Kan terkenang selama hidupku.
Biarpun aku pergi jauh,
Takkan hilang dari kalbu.
Tanahku yang kucintai,
Engkau kuhargai.
Walau banyak negeri indah pernah dijejak, kampung halaman tetaplah istimewa. Di sanalah hati merasa paling tenteram, di sanalah rindu menemukan rumahnya. Tanah airku engkau tidak pernah hilang, engkau selalu kubanggakan. Meski aku bukan siapa-siapa di hadapan dunia, namun ketika kening ini bersujud aku merasa diriku tak lagi sekadar noktah kecil yang tak berarti. Dalam keheningan sujud itu, aku belajar bahwa sekecil apa pun manusia, selalu ada ruang untuk bermakna, selalu ada jalan untuk memberi arti bagi hidup.
Di kota suci ini, setiap langkah terasa seperti pelajaran. Menahan lelah, melatih sabar, menata hati, semua menjadi bagian dari pendidikan ruhani yang tak tertulis dalam kitab mana pun, tetapi nyata dalam pengalaman jiwa. Sujud demi sujud menjadi ruang dialog antara kecilnya aku dengan kebesaran-Nya. Dari tempat inilah aku memahami, bahwa hidup bukanlah tentang siapa aku di mata manusia, melainkan tentang seberapa ikhlas aku belajar, seberapa dalam aku berlatih menundukkan hati. Dan pada akhirnya, meski aku hanya setitik debu, aku berharap setitik ini pun membawa cahaya makna dalam perjalanan panjang menuju keridloan-Nya. (mac)