spot_img
BerandaBudayaBelajar dan Berpikir: Dua Sayap yang Harus Terbang Bersama

Belajar dan Berpikir: Dua Sayap yang Harus Terbang Bersama

Dalam tradisi Jawa, ada ungkapan halus yang relevan: “ngudi kawruh lan ngolah rasa.” Mencari ilmu, sambil mengolah rasa. Bukan sekadar tahu, tapi juga mampu memahami. Bukan hanya berpikir, tapi juga menimbang dengan batin.

Gaya Humanis & Reflektif 

Oleh : Hibban M

Di sebuah ruang belajar sederhana, seorang anak duduk di depan meja kayunya. Di hadapannya, buku-buku terbuka, lembar-lembar catatan penuh tulisan. Dari luar, ia tampak serius, seolah sedang menimba ilmu dengan segala kesungguhan. Namun, ada sesuatu yang tak terlihat: pikirannya terburu-buru, hanya mencatat tanpa sempat merenung. Ilmu masuk, tapi tak pernah benar-benar tinggal.

Fenomena semacam ini bukan hanya milik anak sekolah. Dalam arus informasi yang deras, kita semua bisa tergelincir pada semangat belajar cepat, tapi melupakan berpikir dalam. Kita membaca, kita menghafal, kita menumpuk data. Tetapi apakah kita berhenti sejenak untuk bertanya: apa arti semua ini bagi hidupku?

Di sisi lain, ada pula yang gemar bersuara, mengkritik, bahkan berdebat panjang. Kata-kata mengalir, opini bermunculan. Namun, tanpa dasar pengetahuan yang kokoh, pendapat itu seperti daun kering—mudah diterbangkan angin. Ia berbicara lantang, tetapi tidak berpijak pada fondasi ilmu yang kuat. Di sanalah kesalahan mudah tumbuh—kesimpulan keliru, pandangan yang menyesatkan, bahkan pemikiran yang menular tanpa kebenaran.

Dalam tradisi Jawa, ada ungkapan halus yang relevan: “ngudi kawruh lan ngolah rasa.” Mencari ilmu, sambil mengolah rasa. Bukan sekadar tahu, tapi juga mampu memahami. Bukan hanya berpikir, tapi juga menimbang dengan batin.

Karena belajar tanpa berpikir hanya menjadikan kita gudang informasi yang dingin dan pasif.
Sebaliknya, berpikir tanpa belajar menjerumuskan kita dalam kepercayaan semu—merasa benar, padahal kosong.

Di banyak ruang pembelajaran hari ini, kita dipertemukan dengan tantangan serupa. Anak-anak yang mahir menjawab soal, tapi gagap ketika diajak berdiskusi makna; orang dewasa yang pandai berpendapat, tetapi tak pernah betul-betul menelusuri sumber kebenarannya.

Padahal, di titik pertemuan dua proses itulah kebijaksanaan lahir.
Belajar memberi fondasi—tanah kokoh untuk berpijak.
Berpikir memberi arah—kompas untuk tidak tersesat.

Ketika keduanya bersentuhan, ilmu bukan sekadar pengetahuan mati. Ia tumbuh menjadi panduan hidup. Ia menjadi langkah yang lebih mantap, suara yang lebih jernih, keputusan yang tak hanya cerdas—tapi juga bijak.

Dan mungkin, di ruang belajar sederhana itu, kita semua tengah kembali belajar.
Bukan hanya mengisi kepala, tapi juga membuka mata batin.
Sebab ilmu sejati bukan hanya dipahami, tetapi dihayati.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments