Oleh Lembayung
Ada masa ketika hidup seolah menguji kita dengan cara paling sunyi. Bukan dengan badai besar, melainkan dengan kekosongan: hari-hari ketika semangat tak lagi mudah dipanggil, ketika tubuh letih, hati retak, dan genggaman kita atas dunia serapuh embun di tepi daun. Pada saat seperti itu, barulah kita mengerti bahwa kekuatan sejati lahir bukan dari tepukan orang lain, tetapi dari ruang senyap paling dalam yang kita simpan di balik dada.
Kesunyian, anehnya, justru menjadi ruang pengobatan paling lembut. Ia tidak menghibur, tidak pula berbohong. Ia hanya memantulkan siapa kita, persis seperti cermin tua yang menolak merapikan kerut. Dalam hening itulah kita akhirnya mengakui sesuatu yang selama ini kita tutupi dengan tawa: betapa sering kita rapuh, betapa mudah kita goyah, betapa banyak luka yang kita bawa diam-diam. Dan betapa banyak tipu daya yang kita lakukan terhadap diri sendiri hanya untuk terlihat kuat.
Berjalan sendirian terkadang bukan pilihan, melainkan takdir kecil yang menuntun kita kembali pada inti. Karena ramai tak selalu berarti ditemani, dan bising tak selalu berarti hidup. Ada keramaian yang membuat kita kehilangan diri, seperti kabut tebal yang perlahan menghapus arah. Ternyata, kesendirian bisa lebih jujur daripada kehadiran manusia-manusia yang hanya hadir saat kita cerah, lalu lenyap saat kita runtuh.
Namun membangun kesunyian di tengah dunia yang terlampau gaduh adalah perjalanan spiritual tersendiri. Kita hidup di zaman ketika setiap orang ingin bersuara, tetapi sedikit sekali yang mau mendengarkan—bahkan mendengarkan hatinya sendiri. Kebisingan itu mencuri energi kita pelan-pelan, seperti angin dingin yang menggerogoti api kecil sampai nyaris padam. Dan tanpa kita sadari, berapa banyak tenaga yang kita buang untuk hal-hal yang tak memberi makna selain lelah?
Maka diam adalah jalan kembali. Termenung adalah cara merapat ke inti. Mengendapkan energi adalah bentuk doa yang paling jujur: keinginan untuk merawat hidup tanpa tergesa, tanpa pamer, tanpa perlu dipahami siapa pun. Kita belajar menata ulang tujuan, menyaring suara, mengasah fokus—sebab hanya energi yang dikembalikan pada satu titik yang mampu menyalakan terang.
Pada akhirnya, yang kita cari bukan tepuk tangan, bukan pengakuan, bukan ramai yang memeluk—melainkan keseimbangan. Sebuah kestabilan yang lahir dari keberanian menatap hening, dan kebijaksanaan menerima bahwa tak semua perjalanan butuh saksi.
Dan di titik puitis itulah satirnya muncul:
Betapa manusia sibuk mengejar dunia, sementara dunia bahkan tidak menoleh. Betapa kita sering mencari pegangan ke luar, padahal yang selama ini kita perlukan hanyalah pulang ke diri sendiri.

