spot_img
BerandaBudayaBedhaya Ketawang dan Ironi Kita: Ketika Tradisi Menjaga Diri Lebih Baik daripada...

Bedhaya Ketawang dan Ironi Kita: Ketika Tradisi Menjaga Diri Lebih Baik daripada Kita Menjaga Tradisi

LESINDO.COM – Ada satu ironi yang terus mengendap dalam lanskap kebudayaan Jawa: semakin modern negeri ini, semakin sulit kita menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh konsisten.
Anggaran berubah, kebijakan diganti, slogan pembangunan diperbarui tiap pergantian pejabat, bahkan makna gotong royong pun kerap dikebiri menjadi sekadar jargon baliho.

Namun di sudut Keraton Surakarta—bangunan tua yang kadang tampak lebih sabar daripada masyarakat di sekitarnya—sebuah tarian berusia ratusan tahun justru mempertahankan dirinya dengan keteguhan yang nyaris memalukan kita: Bedhaya Ketawang.

Tarian yang dipercaya lahir dari hubungan spiritual antara Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul itu tetap dipentaskan setahun sekali tanpa rewel, tanpa konferensi, tanpa “anggaran perlu disesuaikan”, tanpa mencari sponsor. Dalam dunia yang semakin pragmatis, keteguhan seperti ini terdengar seperti candaan.
Namun justru di situlah kritiknya bekerja.

Ritus yang Bertahan Bukan Karena Regulasi, tetapi Karena Rasa

Budaya Indonesia sering hidup dalam ruang paradoks: kita bangga akan tradisi, tapi sering tidak sabar merawatnya. Kita merayakan warisan leluhur, tetapi pemasungan anggaran seni budaya selalu dianggap “bisa nanti kalau ada sisa”. Kita membanggakan keberagaman, tetapi sering menganggap tradisi hanya penting ketika ada tamu asing yang datang.

Di tengah pola pikir yang serba transaksional itu, Bedhaya Ketawang berdiri sebagai antitesis. Tarian ini tidak bertahan karena proyek revitalisasi, bukan pula karena promosi pariwisata, melainkan karena sebuah rasa: rasa takzim.

Keraton berpegang pada keyakinan bahwa Bedhaya Ketawang bukan sekadar pertunjukan, melainkan perjanjian kosmologis.
Ada yang sakral di sana—dan sakral tidak bisa dipaksa, direvisi, atau diefisienkan.

Bedhaya Ketawang menampar kita dengan halus:
bahwa tradisi tidak butuh kita bersorak, ia hanya butuh kita menjaga jarak hormat.

Ketika Modernitas Kehilangan Iman pada Tradisi

Salah satu problem kebudayaan kita adalah kecenderungan menilai tradisi dengan tolok ukur modernitas. Sesuatu diakui penting apabila mendatangkan devisa, masuk di kalender festival, atau memicu viral.
Yang sakral pun akhirnya harus masuk “proposal kegiatan”.

Dalam logika seperti itu, Bedhaya Ketawang sebenarnya tidak relevan. Ia tidak bisa dipersingkat, tidak bisa direbrand, tidak bisa dijadikan paket wisata. Ia bahkan tidak bisa ditonton semua orang. Dan karena itu, justru ia menjadi barometer kejujuran kita dalam merawat budaya:
apakah kita mampu menjaga sesuatu meski ia tidak memberi keuntungan praktis?

Di dunia yang semakin “semua harus ada KPI-nya”, Bedhaya Ketawang adalah kemewahan epistemik—sebuah praktik budaya yang menolak didikte oleh algoritma efisiensi.

Tradisi yang Lebih Disiplin dari Sistem yang Mengaturnya

Ada ironi yang lebih dalam: penari Bedhaya Ketawang menjalani tirakat dengan tingkat kedisiplinan yang jarang kita lihat dalam sistem administrasi modern. Mereka puasa, menjaga tutur kata, menjaga batin. Mereka menari pelan bukan karena malas, tetapi karena gerak lambat adalah bahasa kesunyian.

Bandingkan itu dengan banyak program budaya formal yang berjalan tergesa, mengejar deadline, atau bahkan sekadar mengejar “output”, bukan kualitas.
Di situ, Bedhaya Ketawang menjadi cermin: bahwa kita sering kehilangan inti budaya karena terlalu sibuk mengurus bungkusnya.

Restu Langit yang Tidak Bisa Didisrupsi

Para penarinya pun bukan sembarang putri. Mereka adalah gadis-gadis muda pilihan, abdi dalem keturunan atau murid tari yang sejak kecil digembleng dalam disiplin gerak klasik Jawa. Semuanya belum menikah, sebab dalam pandangan keraton, kesucian tubuh dan batin menjadi medium penting agar pesan leluhur mengalir tanpa cela. (mc)

Bedhaya Ketawang menyimpan pesan tersirat:
ada hal-hal yang tidak bisa di-“update”.

Hubungan antara raja dan Kanjeng Ratu Kidul, realitas metafisik Jawa, kosmologi yang memandang kekuasaan sebagai pusat semesta—semua itu bukan sekadar cerita rakyat, tetapi cara pandang yang menjaga keseimbangan batin masyarakat Jawa selama berabad-abad.

Di tengah gempuran modernitas—yang kadang lebih ribut daripada rasional—kehadiran Bedhaya Ketawang seolah berkata:
“Modernitas boleh bergerak cepat, tetapi manusia tetap makhluk yang membutuhkan makna.”

Dan makna tidak bisa diunduh.

Tidak bisa diganti versi terbaru.

Tidak bisa dioptimalisasi.

Maka Bedhaya Ketawang menampakkan dirinya sebagai napas panjang kebudayaan Jawa: sunyi, lambat, tetapi stabil; jauh lebih stabil daripada banyak program pembangunan.

Penutup: Kita yang Rapuh, Tradisi yang Kukuh

Jika kita melihat Bedhaya Ketawang hari ini, pertanyaan yang muncul bukan lagi:
Apakah tradisi ini bisa bertahan di era modern?
Pertanyaan yang lebih tepat justru:
Apakah kita, yang hidup di era modern, masih memiliki kedalaman untuk menghargainya?

Karena Bedhaya Ketawang tidak butuh pembelaan.
Ia sudah bertahan lebih lama dari berbagai kerajaan, pemerintahan, dan kebijakan yang datang dan pergi.

Yang perlu diuji adalah kita—apakah kita masih punya ruang untuk yang sakral, yang perlahan, yang tidak produktif, tetapi justru menjaga jiwa kebudayaan kita.

Dan mungkin, di tengah hiruk pikuk dunia yang semakin berisik, kita sebenarnya sedang membutuhkan kembali apa yang ditawarkan Bedhaya Ketawang:
kesunyian yang merawat martabat. (Bil)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments