LESINDO.COM – Rekomendasi netizen kadang bisa menipu, tetapi untuk yang satu ini—mantulity bukan sekadar slogan yang lewat di linimasa. Di Desa Sumberrejo, Sidoharjo, Kecamatan Polanharjo, Klaten, sebuah warung sederhana bernama Bebek Nyakmid sedang menjadi buah bibir. Letaknya memang di tengah kampung, namun aromanya—dan ceritanya—menembus batas kota.
Menjelang siang, deretan motor mulai memenuhi halaman kecil rumah yang disulap menjadi warung itu. Dari dapur terbuka terdengar suara wajan beradu dengan spatula, aroma bumbu digongso yang menguar, serta percikan cabai hijau yang baru saja masuk ke dalam saus panas. Dapur kampung yang riuh itu seperti panggung kecil, tempat para penikmat kuliner menunggu hidangan yang mereka sebut sebagai “gongso terenak versi kampung atas.”
Lauk Sederhana, Rasa Luar Biasa

Menu di Bebek Nyakmid sebenarnya tak rumit: bebek, ayam, dan iga. Namun rahasia sesungguhnya ada pada proses gongso dan bumbu segarnya. Irisan tomat matang, bawang yang baru ditumbuk, serta cabai hijau yang dipotong besar menjadi topping yang jarang ditemui di warung sejenis.
Perpaduan gongso yang medok dengan bumbu segar itu membuat rasa akhirnya “meletup”—pedas, gurih, segar, dan harum sekaligus. Harga pun terbilang bersahabat: Iga gongso dan sop iga dibanderol Rp35.000 khusus selama Ramadan, sementara Bebek/Ayam Gongso Rp29.000 sudah termasuk nasi.
“Harganya murah untuk rasa dan porsinya. Bebeknya lembut tanpa amis, ayamnya empuk, pokoknya mantul,” ujar Nawang Sari, penikmat kuliner yang juga memiliki usaha nasi liwet di Gemblekan, Solo.
Sementara itu, Hendri Septyana dari Kadipiro, Solo, punya alasan sendiri untuk kembali: “Bebek gongsonya enak banget, bumbunya meresap sampai dalam. Luarnya garing, dalamnya empuk. Campuran tomat hijau, kacang, cabe rawit… gurih dan lezat lain.”
Dari Dapur Hotel ke Dapur Kampung

Tak banyak yang menyangka, sosok di balik racikan gongso ini dulunya adalah chef di Hotel Novotel & Ibis Solo. Pandemi COVID-19 mengubah arah hidupnya. Ia memutuskan resign dan pulang ke kampung halaman, membuka warung kecil dengan modal sederhana dan niat yang lebih sederhana lagi: tetap bisa memasak, tetap dekat keluarga.
Namun justru dari langkah kecil itu pintu rezeki terbuka lebar. Setelah pindah ke lokasi yang sedikit lebih lapang dua bulan lalu, pengunjung berdatangan tanpa henti. Jam 2–3 siang, menu sering kali sudah habis. Akhir pekan lebih ramai lagi—antrean mengular, sebagian datang dari luar kota setelah membaca rekomendasi netizen.
Reservasi Dulu Kalau Tak Mau Kecewa
Ramainya di luar dugaan membuat banyak pelanggan memilih reservasi sebelum datang. “Kalau enggak, ya siap-siap zonk,” ujar seorang pengunjung sambil tertawa. Di balik meja kasir, aroma gongso dari dapur terus mengepul—tanda bahwa warung kampung ini tak pernah berhenti bekerja.
Buktinya Ada di Lidah
Bebek Nyakmid mungkin berdiri di tengah kampung, bukan di deretan ruko atau pusat kuliner. Namun dari tempat sederhana inilah cita rasa “rumah” bertemu dengan teknik masak hotel yang terukur. Hasilnya: hidangan yang jujur, hangat, dan membuat siapa pun ingin kembali. Ketika rasa tak pernah bohong, kampung pun bisa menjadi pusat kuliner. Dan Bebek Nyakmid membuktikan itu dengan gongso yang meledak nikmat di setiap suapan. (mac)

