LESINDO.COM – Pagi baru saja merekah di jalur utama Denpasar–Ubud. Asap dupa dari halaman rumah warga Batubulan mengalun bersama aroma batu basah dan suara pahat yang saling bersahutan. Suara itu, bagi warga, bukan sekadar bunyi kerja, melainkan irama kehidupan yang tak pernah padam. Di sinilah, di sebuah desa kecil di Kecamatan Sukawati, Gianyar, tradisi, seni, dan pariwisata bertemu dalam satu panggung panjang bernama Batubulan.
Nama Batubulan lahir dari legenda. Dikisahkan, pada masa silam, seorang tokoh bangsawan menemukan sebongkah batu yang memantulkan cahaya seperti rembulan di tengah hutan. Batu itu menjadi pertanda baik dan kemudian menjadi nama tempat ini — Batu Bulan. Hingga kini, batu tersebut disimpan di Merajan Agung Batubulan, menjadi simbol sakral yang mengikat sejarah dan spiritualitas warga.
Namun, lebih dari sekadar mitos, Batubulan telah menjelma menjadi ruang tempat kreativitas tumbuh. Tiga desa adat — Tegaltamu, Jero Kuta, dan Dlod Tukad — kini menjadi poros kegiatan budaya dan ekonomi kreatif yang menghidupi ribuan perajin dan seniman.
Patung yang Bernapas dan Tari yang Hidup

Batubulan dikenal sebagai pusat patung batu paras terbaik di Bali. Di sepanjang jalan desa, galeri-galeri kecil memamerkan sosok dewa, raksasa, hingga figur modern dari batu padas yang diukir tangan-tangan telaten. Setiap pahatan membawa makna spiritual — bukan sekadar barang dagangan, tapi hasil kontemplasi. “Setiap batu itu punya jiwa. Kita hanya membebaskannya,” ujar I Made Sutirta, seorang pematung yang mewarisi keahlian dari ayahnya. Ia tersenyum sambil menepuk halus bagian wajah patung Ganesha yang sedang ia sempurnakan.
Selain patung, tari Barong menjadi denyut nadi wisata Batubulan. Setiap pagi, wisatawan lokal dan mancanegara berduyun-duyun ke panggung terbuka menonton tarian yang menggambarkan pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Di tangan para seniman lokal, Barong bukan sekadar tontonan, melainkan ritual, doa, sekaligus pertunjukan estetika yang megah. Dari sini pula, transformasi budaya Bali terlihat jelas — bagaimana sakralitas dipertahankan meski dibingkai dalam konteks pariwisata.
Di Persimpangan Modernitas dan Tradisi

Letak Batubulan yang strategis — di antara Denpasar dan Ubud — menjadikannya lalu lintas utama wisatawan. Namun, derasnya arus pembangunan juga membawa tantangan baru. Banyak warga kini mengubah pekarangan menjadi toko atau galeri, sementara generasi muda sebagian mulai menempuh profesi lain di luar seni.
“Kalau tidak hati-hati, Batubulan bisa kehilangan ruhnya,” tutur Ni Ketut Arini, pengajar seni tari di salah satu sanggar. “Kita harus tetap tanamkan nilai-nilai leluhur. Seni itu bukan hanya mata pencaharian, tapi jalan hidup.” Meski demikian, geliat desa masih terasa kuat. Upacara adat seperti Karya Agung di Pura Dalem Dlod Tukad terus dilaksanakan dengan khidmat. Desa adat tetap menjadi penjaga nilai-nilai spiritual di tengah arus modernitas. (Dhe)