LESINDO.COM — Pagi di Batubulan selalu dimulai dengan bunyi yang sama: denting gamelan yang mengalun dari balik panggung, memecah sisa embun di udara Bali. Di sebuah tribun sederhana, ratusan pasang mata menunggu satu kisah lama yang tak pernah benar-benar usang—kisah tentang Barong dan Rangda.
Tari Barong adalah pertunjukan yang nyaris menjadi ritual harian di Gianyar. Di desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, tarian ini dipentaskan hampir tanpa jeda, seolah waktu memang disusun untuk memberi ruang bagi perjumpaan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Salah satu kelompok yang rutin mementaskannya adalah Grup Tari Barong & Kris Dance Jambe Budaya, dengan kapasitas tribun sekitar 250 penonton—cukup untuk menampung rasa ingin tahu wisatawan, pelajar, hingga warga lokal yang kembali datang, lagi dan lagi.
Pertunjukan biasanya dimulai pukul 09.30 WITA. Satu jam kemudian, kisah itu akan berakhir—setidaknya di panggung. Namun, gema ceritanya sering kali tinggal lebih lama di benak penonton.
Alurnya nyaris tak pernah berubah. Barong hadir sebagai simbol Dharma, kebajikan yang menjaga keseimbangan semesta. Rangda muncul dengan wajah seram, taring menjulur, lidah panjang—perwujudan Adharma, kekacauan dan kejahatan. Mereka bertarung, bukan untuk saling memusnahkan, melainkan untuk mengingatkan manusia bahwa hidup selalu berada di antara dua kutub itu.
Yang menarik, meski cerita ini sudah ditonton

berkali-kali, rasa jenuh nyaris tak pernah muncul. Ada sesuatu yang selalu baru setiap kali duduk di tribun. Bukan pada alurnya, melainkan pada penontonnya.
Hari ini, tepuk tangan terdengar lebih riuh. Di sudut tribun, sekelompok wisatawan asing terperanjat saat Rangda melintas mendekat. Di barisan depan, anak-anak tertawa kecil, separuh takut, separuh penasaran. Sorak-sorai muncul spontan ketika Barong kembali bangkit, bulu lebatnya bergoyang mengikuti irama gamelan yang kian cepat.
Puncaknya selalu sama: Tari Keris. Para pengikut Barong menusukkan keris ke dada mereka sendiri—sebuah adegan yang kerap membuat penonton menahan napas. Namun tubuh-tubuh itu tetap tegak. Dalam kepercayaan Bali, kekuatan Barong melindungi mereka. Di sinilah seni, ritual, dan keyakinan bertaut tanpa jarak.
Gamelan berhenti. Panggung kembali sunyi. Penonton berdiri, bertepuk tangan, sebagian masih terdiam—seolah baru saja diajak menyelami sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tontonan.
Barong menang, seperti biasa. Tapi barangkali itulah alasan orang tak pernah bosan: karena kemenangan itu bukan soal akhir cerita, melainkan pengingat. Bahwa keseimbangan harus terus dijaga. Dan bahwa kisah lama, jika disaksikan dengan hati yang terbuka, selalu menemukan cara untuk terasa hidup kembali. (dhe)

