LESINDO.COM – Pagi itu, sinar matahari menyelinap di sela jendela kayu besar Gedung Sate, Bandung. Udara sejuk pegunungan mengalir lembut di antara kisi ventilasi tua yang masih setia menyalurkan napas masa lalu. Dari menara gedung dengan ujung menyerupai tusuk sate itu, sejarah seolah berbisik pelan — mengingatkan bahwa di balik keindahan bangunan ini, tersimpan kisah panjang perjumpaan antara dua dunia: Timur dan Barat.
Ruang yang Menyimpan Waktu
Indonesia tak hanya mewarisi merdeka dari penjajahan, tetapi juga jejak arsitektur, budaya, dan sistem kehidupan yang tertinggal dari masa kolonial Belanda. Di sudut-sudut kota seperti Semarang, Jakarta, hingga Surabaya, deretan bangunan bergaya neoklasik dan art deco masih berdiri kokoh.
Lawang Sewu, misalnya, bukan sekadar gedung tua berhantu seperti kisah urban yang berkembang, melainkan simbol kemajuan teknologi Belanda dalam membangun kantor kereta api pertama di Hindia Timur.
“Bangunan-bangunan ini adalah saksi zaman,” ujar seorang pemandu wisata di Kota Tua Jakarta. “Dari sini, kita belajar bagaimana bangsa Eropa menyesuaikan diri dengan tropisnya Nusantara — membuat jendela tinggi, serambi luas, dan atap menjulang agar tetap sejuk.”
Jejak di Rel dan Bendungan
Selain gedung, Belanda juga meninggalkan warisan besar pada sistem transportasi dan infrastruktur. Rel kereta pertama di Indonesia dibangun tahun 1867, menghubungkan Semarang–Tanggung. Rel itu membuka jalan bagi mobilitas ekonomi, mempercepat pengiriman hasil bumi dari pedalaman ke pelabuhan.
Di Bogor, Bendung Katulampa — yang dibangun pada 1911 — masih berfungsi hingga kini, menjadi pengatur air bagi Sungai Ciliwung dan penentu status banjir bagi Jakarta. Ironisnya, teknologi kolonial itu tetap menjadi tulang punggung pengelolaan air di era modern.
Bahasa, Kuliner, dan Budaya

Namun, warisan kolonial tidak hanya berbentuk fisik. Dalam percakapan sehari-hari, kata-kata Belanda mengalir begitu alami dari lidah orang Indonesia: kantor, handuk, lemari, gratis, dokter.
Bahkan di meja makan, jejak itu masih terasa. Kue spekkoek (lapis legit), risoles, kroket, dan poffertjes adalah hasil persilangan dua budaya yang kini dianggap “lokal”.
Tradisi rijsttafel — jamuan makan panjang dengan berbagai lauk — adalah cerminan gaya hidup Eropa yang diadaptasi ke cita rasa Nusantara. “Makanan kolonial itu kini menjadi nostalgia,” kata seorang pemilik kafe di Kota Lama Semarang yang menyajikan menu tempo doeloe di bangunan berusia lebih dari seabad.
Dari Penjajahan Menjadi Kesadaran
Ironisnya, penjajahan Belanda justru melahirkan semangat perlawanan dan kesadaran nasional. Dari lembaga pendidikan STOVIA, lahir para tokoh seperti dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara — yang belajar dari sistem kolonial, lalu menumbangkan hegemoni itu lewat pengetahuan. “Belanda datang membawa kekuasaan, tapi tanpa sadar juga menanamkan bibit kebangsaan,” tulis sejarawan Ong Hok Ham dalam salah satu karyanya.
Warisan yang Masih Hidup
Kini, banyak peninggalan Belanda tak sekadar menjadi artefak masa lalu, tapi juga ruang hidup baru. Bangunan tua bertransformasi menjadi museum, kafe, galeri, hingga kantor kreatif.
Di Yogyakarta dan Malang, generasi muda menghidupkan arsitektur kolonial dengan sentuhan kontemporer — menjadikannya bukti bahwa sejarah tak selalu harus dibekukan, melainkan bisa dihidupkan kembali dengan cara yang lebih segar.
Karena, seperti kata pepatah Jawa, “Sing sapa ngliru, kudu eling lan waspada” — siapa pun yang pernah tersesat oleh masa lalu, harus ingat dan belajar darinya.
Dan mungkin, peninggalan Belanda di tanah ini adalah pengingat paling nyata, bahwa bangsa Indonesia tumbuh dari pertemuan panjang antara penjajahan dan kebangkitan. (Dhen)