LESINDO.COM – Sore itu, langkah para wisatawan terhenti sejenak di depan pintu utama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di balik gerbang yang menjulang, tampak sosok berwajah garang: patung Rojomolo. Matanya melotot, gigi-giginya bertaring, seakan hendak menerkam siapa saja yang berani melintas dengan niat buruk. Anak-anak kecil menatap dengan rasa takut bercampur kagum, sementara orang tua mereka berbisik lirih, “Itu Rojomolo, penjaga keraton sejak zaman leluhur.”
Menurut catatan sejarah, Rojomolo sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari arsitektur keraton sejak ratusan tahun lalu. Wujudnya yang menyeramkan bukan tanpa makna. “Ia adalah simbol penolak bala, pelindung raja, sekaligus pengingat akan kewaspadaan,” jelas Ki Wiryo, seorang abdi dalem yang telah lebih dari tiga dekade mengabdi di keraton. Dalam tradisi Jawa, sosok yang menakutkan justru diyakini sebagai penjaga. Bagi masyarakat, Rojomolo adalah tameng dari marabahaya, baik yang tampak maupun tak kasat mata. Tak jarang, pengunjung menemukan sesaji bunga atau dupa di dekat patung ini sebuah bentuk penghormatan pada kekuatan gaib yang dipercaya menyelimutinya.

Keberadaan Rojomolo juga sarat pesan filosofis. Ia melambangkan kekuasaan yang harus dijalankan dengan kehati-hatian. Wajahnya yang menyeramkan seakan berpesan: keindahan istana dan kemegahan kekuasaan selalu punya sisi gelap yang harus diwaspadai. Kini, meski zaman berubah, Rojomolo tetap berdiri tegak. Ia tak hanya menjaga Keraton Surakarta, tetapi juga menjaga ingatan masyarakat Jawa akan kearifan leluhur: bahwa harmoni selalu lahir dari keseimbangan antara yang indah dan yang menakutkan.
Bagi masyarakat Jawa, patung Rojomolo di pintu Keraton Surakarta bukan sekadar hiasan arsitektur. Sosok garang bermata melotot itu dipercaya punya “nyawa gaib” yang menjaga keraton dari marabahaya. Sejarah panjangnya menyimpan berbagai cerita, sebagian masih beredar hingga kini.
Pada masa lampau, ketika pageblug (wabah penyakit) melanda Surakarta, para abdi dalem sering meletakkan sesaji di depan Rojomolo. Mereka yakin, kekuatan sang penjaga gaib mampu membantu menolak bala. “Rojomolo itu bukan hanya simbol. Ia juga dipercaya bisa menahan energi buruk yang masuk,” tutur seorang sesepuh keraton. Cerita lain datang dari masa kolonial. Beberapa serdadu Belanda konon pernah mengejek wajah Rojomolo yang menyeramkan. Anehnya, tak lama kemudian mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan kecil. Kisah ini menyebar dari mulut ke mulut, memperkuat keyakinan bahwa sosok itu benar-benar “hidup” secara gaib.
Hingga kini, dalam beberapa ritual besar seperti Grebeg atau Labuhan, masyarakat masih menaruh bunga dan dupa di dekat Rojomolo. Mereka percaya, memberi penghormatan kepada penjaga mistis itu akan membuat acara berlangsung lancar tanpa gangguan. Di era modern, kisah tentang Rojomolo tak lantas hilang. Beberapa wisatawan mengaku kameranya mendadak rusak atau hasil fotonya kabur ketika diarahkan ke patung itu, meski objek lain tampak jelas. Bagi sebagian orang, ini sekadar kebetulan. Namun bagi yang percaya, itu tanda bahwa Rojomolo masih berjaga.
Lebih dari sekadar patung batu, Rojomolo telah menjelma simbol. Ia hadir sebagai pengingat, bahwa kekuasaan butuh penjaga, dan tradisi selalu menyimpan kekuatan yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan logika. (mad)