Oleh Lukito Pratomo
Benjamin Constant sebetulnya hanya mengingatkan hal sederhana: bahwa tirani tidak pernah datang sambil berteriak, “Hai, aku diktator baru kalian.” Tidak. Ia terlalu pintar untuk itu. Ia datang dengan senyum tipis, penuh kesantunan, sambil menggenggam kata-kata yang dikemas rapi dalam pita emas: “stabilitas nasional”, “kebaikan bersama”, “keamanan negara”, “atas nama rakyat”, dan tentu saja, “demi kesejahteraan masyarakat”—frasa yang belakangan ini mungkin sudah terlalu sering dipakai hingga kehilangan rasa malu.
Para penguasa yang sedang belajar menjadi tiran amat mengerti: tidak ada yang lebih menenangkan publik selain jargon yang terdengar seperti kutipan dari buku pendidikan kewarganegaraan. Mereka tahu benar bahwa masyarakat cenderung luluh ketika mendengar kalimat bernada luhur. Apalagi jika diucapkan sambil membuka kancing atas ketulusan dan—konon—keprihatinan.
Dari situlah pembenaran bekerja sebagai anestesi sosial. Ia membuat masyarakat perlahan kehilangan rasa terhadap hal-hal yang seharusnya pedih. Ketika batas moral mulai digerogoti, kita tak lagi bereaksi. Ketika hukum dibengkokkan sedikit saja “demi kepentingan bersama”, kita diam saja—karena toh kedengarannya penting. Lalu suatu hari kita bangun dan bertanya-tanya kapan sebenarnya garis batas itu hilang. Padahal jawabannya sederhana: garis itu tidak hilang… ia dihapus pelan-pelan, dibubuhi alasan mulia yang sangat meyakinkan.
Ironinya, semakin besar dalih yang dibawa, semakin kecil transparansi yang diberikan. Ketika pejabat berdiri di podium dan berbicara panjang lebar tentang pengorbanan demi rakyat, seringkali rakyat justru berperan sebagai dekorasi yang tidak pernah ditanya pendapatnya. “Rakyat” jadi kata sakti: cukup diucapkan satu kali, dan segala bentuk kebijakan yang meragukan langsung terasa seolah-olah dikirim dari langit.
Begitu publik menerima satu dalih, episode berikutnya datang seperti sinetron tanpa jeda iklan. Hari ini pembatasan kecil, besok aturan tambahan, lusa sedikit pengawasan “untuk ketertiban”, dan pekan depan, entah bagaimana, kita sudah berada dalam sistem yang begitu ketat hingga kebebasan hanya menjadi catatan kaki.
Lebih ironis lagi, setiap tindakan itu selalu dibungkus manis. Seperti paket hadiah: pita cantik, kotak rapi, isinya? Kontrol. Tapi siapa yang protes? Lagipula yang menolak kebaikan bersama pasti dianggap tidak cinta tanah air. Sebuah trik lama yang tetap ampuh.
Constant mengingatkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan selalu berawal dari sesuatu yang terlihat “masuk akal”. Dan itulah seninya—penguasa yang gemar menumpuk legitimasi palsu tidak pernah memulai dari langkah besar. Mereka memulai dari langkah kecil yang sulit ditolak. Langkah yang kalau diprotes, pembangkangnya dianggap rewel dan tidak kooperatif.
Peringatan ini relevan di segala zaman—bahkan mungkin lebih relevan daripada status media sosial yang viral dengan cepat. Kita hidup di era ketika retorika tampil lebih meyakinkan daripada tindakan, ketika kata “demokrasi” bisa diucapkan berkali-kali bahkan oleh mereka yang gemar menutup pintunya.
Karenanya, waspadalah pada narasi yang terlalu bersih, terlalu sempurna, terlalu sering memakai kata “demi rakyat” namun terlalu jarang mendengarkan rakyat. Sebab tirani tidak lagi datang dengan sepatu lars—ia datang memakai sepatu kulit mahal, berdasi, dan membawa naskah pidato yang penuh kebaikan.
Dan seperti yang Constant tahu sejak dulu: kekuasaan yang tak terkendali selalu lahir dari satu kalimat sederhana yang terdengar amat masuk akal… sebelum berubah menjadi rangkaian tindakan yang tidak lagi bisa dipertanyakan.

