LESINDO.COM – Selama bergenerasi, citra budaya nongkrong di Kota Solo tak terpisahkan dari aroma samar arang yang membakar nasi kucing, suara gerobak didorong, dan kehangatan angkringan. Tempat-tempat sederhana ini tempat di mana seorang dosen bisa duduk bersebelahan dengan tukang becak adalah simbol kesederhanaan, egaliterisme, dan Guyub Rukun (kebersamaan) khas Solo.
Namun, dalam satu dekade terakhir, peta sosiokultural kota ini telah digambar ulang. Di setiap sudut, dari Laweyan hingga Colomadu, kini berdiri tegak kedai kopi (coffee shop) dengan desain minimalis, aroma biji Arabika dari Ethiopia, dan lantunan lo-fi jazz. Kehadiran masif coffee shop ini bukan hanya fenomena kuliner; ini adalah pergeseran budaya nongkrong yang kian masif, perlahan menggeser hegemoni angkringan.
Angkringan: Warisan Kehangatan dan Kesederhanaan
Angkringan, atau sering disebut HIK (Hidangan Istimewa Kampung), adalah warisan abadi Solo Raya. Daya tariknya terletak pada:
- Egaliterisme Sejati: Semua orang, dari kelas sosial mana pun, duduk di bangku kayu yang sama, berbagi meja, dan menyeruput teh tubruk atau kopi joss.
- Ekonomis: Dengan menu nasi kucing, sate usus, dan gorengan berharga seribu-dua ribuan, angkringan adalah pilihan utama bagi mereka yang mencari kehangatan tanpa menguras kantong.
- Filosofi Nongkrong Cepat: Angkringan ideal untuk nongkrong yang ringkas, intens, dan langsung ke inti obrolan.
Namun, di era digital, model nongkrong ini mulai menemui tantangan. Kebutuhan generasi muda Solo Raya kini telah bergeser dari sekadar kumpul cepat menjadi beraktivitas lama saat berkumpul.
Coffee Shop: Kebutuhan Ruang Ketiga dan Slow Living
Pergeseran ke coffee shop didorong oleh beberapa faktor yang gagal dipenuhi oleh angkringan, terutama bagi Generasi Z dan Millennials Solo:
1. Kebutuhan Konektivitas dan Produktivitas
Coffee shop menawarkan WiFi gratis dan colokan listrik. Hal ini esensial bagi mahasiswa yang mengerjakan tugas, pekerja lepas (freelancer), atau pebisnis yang melakukan pertemuan informal. Angkringan, dengan sifatnya yang terbuka dan minim fasilitas, tidak dapat menandingi kebutuhan akan “ruang kerja ketiga” ini.
2. Budaya Slow Bar dan Eksplorasi Rasa
Angkringan menjual kebiasaan (kopi sasetan), sementara coffee shop menjual pengalaman dan pengetahuan. Konsep slow bar dan manual brewing mendorong pelanggan untuk berdialog tentang asal biji kopi, teknik seduh, dan notes rasa. Hal ini menarik bagi generasi yang haus akan eksplorasi dan personalisasi.
3. Estetika dan Media Sosial
Coffee shop modern di Solo (dengan desain industrial, minimalis, atau vintage) seringkali berorientasi pada estetika visual. Interior yang instagrammable menjadi daya tarik utama, mengubah kegiatan nongkrong menjadi konten digital. Faktor ini hampir nol di angkringan.
Koeksistensi, Bukan Penghapusan
Walau terjadi pergeseran yang signifikan—terbukti dari menjamurnya coffee shop di area strategis seperti Colomadu, Kartasura, dan sepanjang Jalan Adi Sucipto—fenomena ini belum bisa disebut sebagai “penghapusan” budaya angkringan.
Yang terjadi adalah koeksistensi dan spesialisasi fungsi:
- Angkringan: Tetap menjadi pilihan utama untuk makan hemat, nongkrong larut malam, dan mencari kehangatan otentik masyarakat lokal. Ia berfungsi sebagai rest area
- Coffee Shop: Menjadi destinasi untuk produktivitas, pertemuan profesional, eksplorasi kuliner, dan nongkrong berdurasi panjang yang mengutamakan fasilitas dan ambience.
Namun, yang paling menarik adalah munculnya hibridisasi. Beberapa coffee shop kini mulai mengadopsi menu angkringan (seperti sate-satean) atau menciptakan suasana lebih santai dengan konsep open space dan lampu remang-remang untuk menjembatani kedua dunia tersebut.
Pada akhirnya, perubahan ini mencerminkan bagaimana Kota Solo, tanpa meninggalkan kesederhanaan akarnya, telah tumbuh menjadi kota metropolitan yang multidimensional. Warga Solo kini memiliki pilihan: Apakah mereka mencari kehangatan tradisi yang abadi di angkringan, atau mereka memilih modernitas dan konektivitas di balik cangkir flat white yang berbusa. Kedua-duanya adalah wajah budaya nongkrong Solo yang terus berkembang.(Sugeng)