LESINDO.COM – Di pelataran Taman Budaya Suryani Sukoharjo, sang malam jatuh perlahan seperti tirai panggung yang siap dibuka. Di bawah lampu kekuningan yang temaram, deretan gamelan menunggu disentuh, dan aroma minyak kelapa dari wayang yang baru selesai dibersihkan menguar halus di udara. Di panggung inilah—selama tujuh hari berturut-turut—sebanyak 58 dalang cilik dari berbagai penjuru Sukoharjo tampil satu per satu, memanggil kembali denyut tradisi yang tak pernah benar-benar padam. Parade ini digelar sebagai bentuk kolaborasi Disdikbud Sukoharjo dan Pepadi Sukoharjo untuk memperingati Hari Wayang Nasional 2025.
Di antara puluhan nama yang memenuhi daftar peserta, satu nama menarik perhatian karena sorot matanya yang selalu tampak menyala tiap kali menyentuh boneka wayang: Arkan Attara Syakib, siswa kelas 6 SDN Pucangan 04, lahir 5 November 2013. Anak lelaki berpostur ramping itu berdiri di belakang kelir dengan tenang—kakinya kokoh, kedua tangannya luwes. Tak tampak gugup sedikit pun, seolah panggung itu memang rumahnya.
Anak Kampung Pucangan yang Jatuh Cinta pada Wayang

Arkan tinggal di RT 1 RW 12, Pucangan, Kartasura, sebuah lingkungan yang akrab dengan hiruk-pikuk kota namun masih menyimpan denyut tradisi Jawa di gang-gang sempitnya. Dari rumah itulah sebuah suara kendang, suara gamelan, dan suara wayang yang diputar dari radio bapaknya sering terdengar—menemani hari-hari kecil Arkan.
Ketika parade tiba giliran penampilannya, Arkan memilih lakon “Babat Alas Wanamarta”, kisah klasik yang menandai awal berdirinya Kerajaan Amarta oleh para Pandawa. Bagi Arkan, lakon ini bukan sekadar cerita. Ada simbol perjuangan di dalamnya: keberanian memulai sesuatu, sekalipun jalannya dipenuhi semak dan duri.
Ketika irama gender mulai mengalun, Arkan memulai sabetannya dengan gerakan halus namun tegas. Suaranya berubah-ubah—dari beratnya tokoh Bima hingga lirihnya Yudistira—muncul dari tubuh mungil yang tampak jauh lebih besar ketika berada di balik kelir.
Penonton tersenyum, beberapa mengangguk kagum. Seorang bapak di deretan kursi bahkan berbisik, “Iki wis dadi dalang tenan, ora mung bocah sing dolanan wayang.”
Dari Ruang Kelas ke Panggung Budaya
Menurut Sri Rahayu, S.Pd., M.Pd, Kepala Sekolah SDN Pucangan 04, bakat Arkan tak datang tiba-tiba.
“Arkan memang berbakat luar biasa di bidang seni, khususnya pedalangan. Ia sangat suka, dan orang tuanya mendukung penuh,” ujarnya.
Di sekolah, Arkan bukan hanya dikenal sebagai dalang cilik. Saat kegiatan ekstrakurikuler karawitan berlangsung, ia memegang kendang—alat musik yang jadi “komando” dalam setiap alunan gamelan. Kendang bukan alat sembarangan; tidak semua anak mampu memainkannya dengan tempo dan rasa yang tepat. Namun Arkan memainkannya seperti sedang berbicara dengan gamelan itu sendiri.
Dalam bidang akademik, ia tak tertinggal. Prestasinya berada di atas rata-rata kelas. Gurunya menggambarkan Arkan sebagai anak yang ramah, banyak senyum, dan “hambel”—sederhana, rendah hati, tak berjarak.
Seorang temannya pernah bercanda, “Kalau Arkan yang main kendang, bu guru saja ikut manggut-manggut.” Dan memang, kehadiran Arkan sering menjadi energi baik di kelas.
Parade Dalang Cilik: Sebuah Ruang Bernapas untuk Tradisi

Parade yang berlangsung selama tujuh hari itu bukan sekadar acara pementasan. Ia menjelma sebagai ruang belajar bersama, panggung pembuktian, sekaligus arena bermain bagi anak-anak yang mencintai budaya Jawa. Di balik kelir, mereka belajar kesabaran, teknik suara, kemampuan bercerita, hingga ketekunan berlatih.
Bagi Sukoharjo, parade ini serupa upaya menjaga napas kebudayaan. Anak-anak tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi pelaku aktif tradisi yang berusia ratusan tahun.
Melihat Arkan berdiri tegak di balik kelir, tampak jelas bahwa masa depan wayang mungkin justru sedang bersembunyi dalam tubuh-tubuh kecil ini—dalam suara yang belum pecah sepenuhnya, dalam tawa mereka ketika latihan, dalam kesungguhan mereka saat memegang satu sosok wayang.
Arkan Membuka Hutan
Ketika lakon “Babat Alas Wanamarta” mendekati akhir, tangan Arkan bergerak cepat. Ia mengayunkan tokoh Bima dengan gagah, merambah “rimba” di kelir. Setiap gerakannya seolah menebas ilalang waktu, membuka jalan baru bagi tradisi yang sering dibilang tergerus zaman.
Ketika pementasan usai, tepuk tangan meriah pecah. Arkan membungkuk kecil, tersenyum malu, lalu turun panggung. Ibunya memeluknya, gurunya menepuk bahunya pelan.
Di sudut lain, seorang panitia berkata lirih, “Anak-anak iki sing njaga masa depan wayang. Semoga ora entek.” Dan di balik kelir yang sudah gulung itu, sejarah diam-diam mencatat:
seorang dalang kecil dari Pucangan telah membuka alasnya sendiri. (mac)

