spot_img
BerandaBudayaAntara Senyum Cerita dan Budaya Hari-Hari Guide di Bali

Antara Senyum Cerita dan Budaya Hari-Hari Guide di Bali

Di tengah gempuran informasi digital, kehadiran guide tetap tak tergantikan. Sentuhan personal, cerita otentik, dan keramahan yang lahir dari hati membuat wisatawan pulang bukan hanya dengan foto, tapi dengan pengalaman yang melekat.

Menjaga Warisan Lewat Cerita  Peran Guide dalam Pariwisata Bali

LESINDO.COM-Di balik setiap perjalanan wisatawan yang menjejakkan kaki di Pulau Dewata, ada sosok yang sering luput dari perhatian pemandu wisata. Bagi Jero Gede Sardule (Pak Dhe), seorang guide asal Gianyar, profesi ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hati untuk menjadi “jembatan” antara budaya Bali dan dunia. Setiap pagi, Pak Dhe sebutan akrabnya menyiapkan sarung dan selendang, bukan hanya sebagai simbol adat, tapi juga sebagai identitas yang ia bawa ketika menuntun tamu menyusuri pura, sawah berundak, hingga pasar tradisional. “Tugas saya bukan hanya menjelaskan tempat, tapi membuat tamu merasakan roh Bali,” tuturnya semangat sambil tersenyum.

Peran guide di Bali ibarat duta kecil, ia harus fasih berbahasa asing, peka terhadap perbedaan budaya, dan mampu menjelaskan filosofi hidup masyarakat Bali, dari Tri Hita Karana hingga makna sesajen di jalanan. Di tengah gempuran informasi digital, kehadiran guide tetap tak tergantikan. Sentuhan personal, cerita otentik, dan keramahan yang lahir dari hati membuat wisatawan pulang bukan hanya dengan foto, tapi dengan pengalaman yang melekat. “Kalau mereka mengerti Bali lebih dalam, itu bukan hanya baik bagi pariwisata, tapi juga warisan budaya kami,” papar Jero yang juga punya tanggung jawab sebagai lurah di Gianyar.

Tantangan di Balik Keramahan

Mengenakan busana tradisional bercorak hijau cerah yang berpadu dengan udeng di kepala, mereka tampak hangat dan bersahabat. Senyum itu bukan sekadar ekspresi, melainkan bahasa universal yang menyambut setiap tamu dengan ketulusan. (mac)

Namun, profesi guide tak selalu penuh senyum. Ada hari-hari ketika ia harus menghadapi tamu yang kritis, menuntut pelayanan cepat, atau bahkan bersikap kurang menghargai budaya lokal. “Di situlah saya belajar sabar. Menjadi guide berarti siap menghadapi karakter tamu yang berbeda-beda,” katanya. Bahasa juga menjadi tantangan. Ia fasih berbahasa Inggris dan sedikit bisa bahasa Prancis, tapi kadang menemui wisatawan yang lebih nyaman dengan bahasa lain. “Saya belajar sedikit demi sedikit. Guide itu harus terus berkembang,” ujarnya.

Peran yang Tak Tergantikan

Meskipun sudah masuk di dunia digital, wisatawan bisa mencari informasi lewat gawai, banyak yang mengira profesi guide akan tergeser. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Wisatawan membutuhkan sentuhan personal penjelasan yang hidup, paparan dari pengalaman nyata, dan kehangatan yang tidak bisa digantikan layar ponsel. “Kalau hanya cari info, Google punya segalanya. Tapi kalau ingin merasakan Bali, mereka butuh manusia yang mampu  bercerita, bercanda, bahkan memberi perspektif dari sudut pandang lokal,” kata Bli Koming Sugiarta.

Menjaga Warisan Lewat Cerita

Setiap kali membawa tamu berkeliling, Pak Dhe merasa ia sedang menjaga warisan leluhurnya. Semakin banyak orang memahami Bali, semakin besar pula peluang budaya ini bertahan. “Saya bangga kalau tamu pulang bukan hanya dengan foto, tapi juga dengan pemahaman. Mereka bisa cerita ke keluarga, ke teman, dan Bali tetap hidup di sana,” ujarnya penuh keyakinan.

Sore menjelang, Jero kembali menyampaikan pesannya. Ia berharap agar wisatawan sering datang ke Bali, mengingat mayoritas masyarakat di Pulau Dewata menggantungkan hidup dari sektor pariwisata. “Bali tidak perlu mengalami peristiwa tragis seperti bom beberapa tahun lalu yang sempat meninggalkan luka mendalam dan menghentikan roda pariwisata, terutama dari wisatawan mancanegara. Kini, kedatangan wisatawan lokal saja sudah mampu membuat kami bahagia bisa menyembuhkan luka,” ujarnya menutup pembicaraan. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments