spot_img
BerandaBudayaAku, Sade, dan Senyum Dua Sentimeter

Aku, Sade, dan Senyum Dua Sentimeter

Tapi entah mengapa, manusia modern lebih mudah mengernyit daripada tersenyum. Lebih cepat menghakimi daripada menyapa. Lebih rela mengeluarkan uang untuk hiburan, daripada memberi kebahagiaan yang bahkan tidak membutuhkan biaya.

Oleh Wening Jati  

Aku tidak sedang berburu kelelahan di Kampung Adat Sade, Rambitan, Lombok Barat. Berkeliling kampung ini bahkan tidak menguras waktu—tak sampai tiga puluh menit, kakiku sudah menyusuri hampir seluruh lorongnya. Rumah-rumah beratap alang-alang berdiri nyaris seragam, seolah diwariskan bukan hanya oleh tradisi, tetapi juga oleh kesepakatan visual agar nyaman dipotret wisatawan.

Aku berjalan santai, seperti kebanyakan pelancong lain: melihat, mengagumi, lalu bersiap melupakan.

Namun di antara rumah-rumah yang tampak sama itu, aku berhenti oleh sesuatu yang tidak dirancang untuk pariwisata. Seorang perempuan tua berdiri di depan rumahnya. Usianya mungkin sudah cukup jauh untuk dihitung, tetapi senyumnya masih utuh—tidak retak oleh waktu, tidak kaku oleh kewajiban.

Ia tidak menyapaku. Tidak menawarkan apa pun. Tidak pula memanggil dengan nada ramah khas tempat wisata. Ia hanya tersenyum. Sunyi, sederhana, dan jujur.

Aku sempat berpikir: mungkin ini bagian dari rutinitas kampung wisata—senyum sebagai etalase keramahan. Tapi semakin aku melangkah menjauh, semakin aku sadar, senyum itu tidak meminta apa pun dariku. Ia tidak mengejar, tidak menagih, bahkan tidak berharap untuk diingat. Justru aku yang membawanya pulang.

Interaksi dengan Wisatawan meskipun usia sudah lanjut, banyak nenek di Sade yang cukup ramah terhadap wisatawan. Mereka sering menjadi objek foto favorit karena raut wajahnya yang berkarakter dan pakaian tradisionalnya.(mc)

Dari banyak perjalanan yang pernah kulalui, aku hafal betul polanya. Pantai secantik apa pun akan selesai ketika kakiku meninggalkannya. Bangunan semegah apa pun akan menyusut begitu tinggal di galeri ponsel. Kekaguman selalu punya usia pendek.

Tetapi senyum manusia bekerja dengan cara yang berbeda.

Ia tidak tunduk pada jarak dan waktu. Ia tinggal lebih lama dari foto, lebih keras kepala dari pemandangan. Hingga di perjalanan pulang, aku masih memikirkan perempuan tua itu—tanpa tahu namanya, tanpa tahu kisah hidupnya.

Ironisnya, aku hidup di dunia yang pelit pada hal sesederhana ini. Senyum—yang secara teknis hanya membuka bibir kanan dan kiri sekitar dua sentimeter—terasa seperti kemewahan. Padahal dua sentimeter itu menyehatkan, melegakan, dan memberi kebahagiaan ganda: bagi diri sendiri dan bagi orang yang menerimanya.

Tapi entah mengapa, manusia modern lebih mudah mengernyit daripada tersenyum. Lebih cepat menghakimi daripada menyapa. Lebih rela mengeluarkan uang untuk hiburan, daripada memberi kebahagiaan yang bahkan tidak membutuhkan biaya.

Perempuan tua di Sade mengajariku sesuatu tanpa ceramah, tanpa slogan, tanpa unggahan media sosial. Ia hanya berdiri, tersenyum, dan membiarkanku belajar sendiri bahwa keindahan tidak selalu tinggal di tempat wisata.

Kadang, ia hadir dalam dua sentimeter kejujuran di wajah seseorang—dan bertahan jauh lebih lama daripada seluruh itinerary perjalanan.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments