LESINDO.COM – Di tengah lanskap kering Gunung Kidul, sebuah lubuk hijau memantulkan langit: airnya jernih, dinding tebing kapur menjulang, dan dari sela‑selanya air menyusup turun seperti tirai. Itu Sri Gethuk — bukan hanya air terjun, tetapi juga panggung bagi cerita rakyat, petualangan ribuan pengunjung, dan ritual sunyi alam.
Sri Gethuk terletak di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Akses menuju lokasi dapat ditempuh dari kota Wonosari atau Yogyakarta, lalu menurun ke lembah menuju Sungai Oyo. Terdapat dua jalur utama menuju titik pemandangan: berjalan menyusuri jalan setapak atau menyeberang dengan rakit/ perahu sederhana menyusuri Sungai Oyo—pengalaman yang hampir selalu menjadi bagian tak terlupakan dari kunjungan.

Air terjun ini turun dari dinding kapur yang bertingkat, membentuk kolam‑kolam alami berwarna hijau zamrud. Bentuk batuan kapur yang berteras‑teras menambah tekstur visual yang dramatis: pengunjung bisa berdiri di batu‑batu datar, merasakan semburan kabut halus, atau menyelam ke kolam yang membentuk cekungan luas di bawah aliran.
Menurut catatan pengamatan dan liputan lokal, air di Sri Gethuk berasal dari beberapa sumber mata air yang menyatu—disebutkan sebagai Ngandong, Dong Poh, dan Ngumbul—memberi pasokan air yang relatif stabil meski daerah sekitarnya kering. Tinggi tebing diperkirakan mencapai sekitar 20–25 meter, menciptakan jatuhan air yang memukau dari ketinggian.
Mitos: Anggo Menduro dan Gamelan yang Tak Pernah Disetel

Tak lengkap rasanya menulis tentang Sri Gethuk tanpa menyentuh sisi gaibnya. Penduduk setempat meyakini kawasan ini dihuni roh atau jin yang dikenal sebagai Anggo Menduro — makhluk gaib yang konon menyukai bunyi gamelan, khususnya bunyi kethuk (atau slompret), sehingga kadang pengunjung mengaku mendengar samar‑samar suara gamelan dari arah air terjun.
Mitos semacam ini berperan ganda: ia menambah lapisan misteri yang memikat wisatawan, sekaligus menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat lokal. Bagi sebagian orang, kisah itu mengundang rasa hormat—tetap tenang, jangan merusak alam, dan perlakukan tempat itu dengan penuh tata krama.
Pengalaman Pengunjung: Antara Tenang dan Adrenalin
Banyak pengunjung memilih mengikuti jalur rakit di Sungai Oyo — sebuah perjalanan singkat yang membelah lembah dan membuka panorama yang berbeda menuju air terjun. Sesampainya di lokasi, pilihan beragam: sekadar menikmati pemandangan dari tebing, berenang di kolam alami, body‑rafting di aliran sungai, atau—bagi yang berani—melompat dari tebing ke air.
Di sekitar area juga terdapat wahana sederhana seperti flying fox dan penyewaan pelampung. Fasilitas dasar seperti parkir, warung, dan toilet tersedia namun pengunjung dianjurkan membawa perlengkapan dasar (alas kaki anti‑selip, pakaian ganti) karena medan bebatuan licin dan potensi arus setelah hujan.

Pengelola menekankan pentingnya keselamatan pengunjung, mengingat medan berlubang dan bebatuan yang licin; mereka berupaya menyediakan pelampung dan panduan rakit. Warga menuturkan bahwa mitos Anggo Menduro diwariskan turun‑temurun dan tetap dihormati; beberapa ritual kecil atau tata krama informal masih dijaga oleh keluarga tua di desa. Penduduk lokal juga memanfaatkan keberadaan wisata untuk menopang ekonomi rumah tangga—melayani sewa rakit, warung, dan sebagai pemandu sed
Walaupun menjadi magnet wisata, Sri Gethuk juga menghadapi masalah klasik destinasi alam: pengelolaan sampah, kebutuhan infrastruktur yang layak, dan ancaman dari cuaca ekstrem. Pada beberapa periode hujan deras, aliran sungai dapat melonjak—pada 2022 tercatat banjir yang sempat berdampak pada akses dan fasilitas di area sekitar. Risiko ini mengingatkan pentingnya perencanaan mitigasi bencana untuk destinasi wisata alam.
Selain itu, peningkatan jumlah pengunjung menuntut edukasi yang lebih intensif soal tata kelola lingkungan: larangan merokok di area terumbu batu, pengemasan sampah yang benar, serta pembatasan area melompat atau cliff‑jumping demi keamanan.
Bagi fotografer, Sri Gethuk menawarkan banyak peluang: komposisi yang natural antara tebing, tirai air, kolam reflektif, dan perahu yang bergerak di atas air. Cahaya pagi menyentuh tebing kapur dengan lembut, sementara sore hari memberi kontras antara bayangan tebing dan permukaan air yang redup.
Sri Gethuk adalah contoh destinasi yang memadukan estetika alam, nilai kultural, dan pengalaman petualangan. Daya tariknya nyata: air hijau yang jernih, tebing kapur yang artistik, dan mitos yang menambah nuansa magis. Namun, keindahan itu menuntut tanggung jawab kolektif—pengunjung, pengelola, dan pemerintah daerah perlu menjaga agar pesona Sri Gethuk lestari, tidak terkikis akibat kelalaian. (Dien)

