LESINDO.COM – Pagi di lereng barat Gunung Lawu selalu punya cara sendiri untuk memperlambat langkah. Udara turun lebih dulu daripada cahaya, menyentuh dedaunan pinus dan gemericik air yang terdengar samar dari balik rimbun. Di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, suara itu bermuara pada satu nama: Air Terjun Jumog.
Dulu, orang menyebutnya The Lost Paradise—surga yang hilang. Bukan karena ia lenyap, melainkan karena terlalu lama disembunyikan oleh hutan yang rapat dan jalan yang enggan dilalui. Sebelum 2004, Jumog adalah rahasia alam yang hanya diketahui warga sekitar. Tak ada papan petunjuk, tak ada tangga beton, hanya semak belukar dan keyakinan bahwa keindahan tak selalu perlu diumumkan.
Hingga suatu hari, warga Desa Berjo memutuskan sebaliknya. Dengan gotong royong—kata yang kini terdengar klise namun di sini masih hidup—mereka membabat semak, membuka jalan, dan menurunkan keindahan itu ke ruang publik. Sejak saat itulah Jumog perlahan keluar dari kesunyian, menjadi alternatif bagi wisatawan yang selama ini hanya mengenal Grojogan Sewu di Tawangmangu.
Namun, Jumog bukan sekadar soal akses dan fasilitas. Ia tumbuh bersama cerita.
Ada versi yang mengatakan, nama “Jumog” lahir dari teriakan seorang raja yang terkejut saat berburu dan menemukan air terjun ini. Ada pula yang meyakini, ia diambil dari nama bukit tempat air itu jatuh. Di lapisan cerita yang lebih dalam, mitos Jaka Tarub ikut berdiam: air terjun ini dipercaya sebagai tempat para bidadari turun dari kahyangan untuk mandi—sebuah gambaran klasik tentang air, kesucian, dan rahasia yang mengintai manusia.

Legenda lain bahkan lebih getir. Kisah cinta pemuda bernama Jumog dan Dewi Larasati, putri raja yang cintanya tak direstui, dipercaya berakhir di aliran air ini. Sejak itu, air terjun bukan hanya jatuh, tetapi juga menyimpan ingatan tentang perpisahan.
Secara alamiah, Jumog memang istimewa. Airnya terbagi ke tiga aliran sungai—Klueng, Kusumajati, dan Jubleg—seolah alam sengaja memberi lebih dari satu jalan pulang. Debitnya relatif stabil: tak meluap saat hujan deras, tak kering saat kemarau panjang. Bagi warga, ini bukan keajaiban teknis, melainkan pertanda bahwa alam tahu kapan harus cukup.
Hari ini, Jumog tampil bersahabat. Dari Kota Solo, perjalanan sekitar satu jam lebih sedikit sudah cukup untuk membawamu ke pintu masuknya. Jalan beraspal halus, meski berkelok dan menanjak, mengantar hingga area parkir. Dari sana, hanya sekitar 116 anak tangga menurun—tak perlu perjuangan heroik—menuju suara air yang semakin jelas.
Di bawah, suasananya menyerupai ruang tamu alam. Meja-meja makan diletakkan di pinggir aliran sungai kecil yang jernih. Orang makan sambil merendam kaki, berbagi tawa dengan suara air. Ada kolam renang anak, panggung hiburan di akhir pekan, mushola, toilet bersih, dan warung-warung yang menjual sate kelinci—menu khas pegunungan Lawu.
Jembatan kayu di depan air terjun menjadi titik henti paling ikonik. Di sanalah orang berhenti berjalan, berhenti bicara, dan sesekali—jika matahari cukup rendah dan air cukup halus—berhenti untuk menyaksikan pelangi kecil yang muncul tanpa janji.
Datanglah pagi hari, sekitar pukul delapan hingga sepuluh. Saat itu Jumog belum terlalu ramai, dan udara masih menyimpan dingin semalam. Di jam-jam itulah, air terjun ini terasa paling jujur: tak sedang dipamerkan, tak pula disembunyikan.
Mungkin itulah pelajaran yang diam-diam diajarkan Jumog. Bahwa keindahan tak selalu harus keras bersuara. Kadang, ia hanya perlu dibuka dengan sabar—lalu dijaga agar tak kembali hilang.(mac)

