LESINDO.COM – Di bawah terik matahari siang, barisan prajurit berseragam hitam dengan blangkon tinggi dan jarik batik sogan berjalan tegap di jalan utama Kartasura. Para prajurit yang sudah memasuki usia senja masih terlibat dalam kirab budaya HUT Kartasura ke 345 sebagai salah satu pembuka jalan atau cucuk lampah. Di tangan mereka tergenggam genderang besar bertuliskan “Karaton Surakarta Hadiningrat”. Langkah mereka mantap, meski usia tak lagi muda. Irama tabuhan drum berpadu dengan gemerincing sorai penonton yang memadati pinggiran jalan.
Merekalah pasukan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, barisan kehormatan yang dikenal sebagai abdi pagar budaya — penjaga simbol dan tata laku tradisi Jawa yang kini semakin jarang ditemui. Sebagian besar dari mereka adalah abdi dalem sepuh, yang telah mengabdikan diri puluhan tahun tanpa pamrih. Wajah-wajah berkerut itu menyimpan kisah kesetiaan — bukan hanya kepada raja, tetapi juga kepada budaya yang mereka junjung. “Kami ini hanya ingin menjaga warisan leluhur. Selama masih kuat, kami akan terus melangkah,” ujar salah satu abdi dalem sembari menepuk genderangnya pelan.
Seragam hitam lengkap dengan kancing emas dan kain jarik batik yang mereka kenakan bukan sekadar busana upacara. Itu adalah simbol kehormatan dan disiplin. Di balik langkah tegap mereka, tersimpan nilai-nilai ketulusan, tata krama, dan pengabdian tanpa batas waktu.

Namun di balik kebanggaan itu, ada kenyataan yang perlahan mencemaskan: jumlah abdi dalem muda yang bersedia meneruskan peran mereka semakin sedikit. Generasi muda lebih memilih dunia modern yang menjanjikan kenyamanan ekonomi dibanding pengabdian budaya yang penuh laku prihatin. “Sekarang yang muda jarang mau jadi abdi dalem. Padahal, kalau semua berpikir begitu, siapa yang nanti menjaga keraton?” tutur seorang abdi dalem sepuh lainnya dengan nada lirih.
Keberadaan mereka kini bukan hanya bagian dari ritual atau seremoni keraton semata, tetapi juga menjadi simbol ketahanan budaya di tengah arus globalisasi. Setiap langkah dalam kirab budaya, setiap tabuhan genderang, adalah doa yang dihidupkan lewat gerak dan irama — pengingat bahwa budaya Jawa masih berdenyut, meski perlahan.
Mereka mungkin tidak lagi muda, tetapi semangat mereka adalah nyala api kecil yang menjaga bara tradisi agar tidak padam. Pasukan Keraton Kasunanan Surakarta bukan sekadar penjaga upacara kerajaan; mereka adalah penjaga jiwa bangsa, pengingat bahwa di balik kemajuan zaman, ada akar budaya yang tak boleh terputus. (Cha)