Oleh Lembayung
Bencana yang Belum Cukup Besar untuk Diakui
Di negeri ini, air boleh naik sampai atap rumah, tanah boleh runtuh menelan jalan dan ladang, tetapi status bencana rupanya masih harus menunggu satu syarat penting: apakah negara sudah benar-benar terlihat kalah.
Sumatera sedang basah, longsor, dan letih. Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat mencatat korban, rumah rusak, akses terputus, dan trauma yang berulang. Namun di meja konferensi pers, semuanya masih terdengar terkendali. Kata-kata yang dipilih rapi: masih mampu, masih terkoordinasi, belum perlu nasional.
Bencana, di negeri ini, rupanya bukan soal derita, melainkan soal administrasi kewenangan.
Negara yang Kuat di Atas Kertas
Pemerintah punya argumen sahih—dan undang-undang di pihaknya. UU No. 24 Tahun 2007 menegaskan: bencana nasional baru ditetapkan jika daerah lumpuh total. Selama kantor gubernur masih menyala, selama rapat koordinasi masih bisa digelar, selama kamera televisi masih menangkap pejabat berseragam lengkap di lapangan, maka bencana dianggap belum cukup nasional.
Logikanya sederhana: selama negara masih bisa berdiri di depan mikrofon, berarti belum jatuh.
Maka, air yang menggenangi rumah warga cukup disebut kejadian besar. Longsor yang memutus ekonomi desa cukup diberi label darurat daerah. Negara ingin membuktikan satu hal penting kepada dunia: kami mampu.
Mandiri, Tapi Siapa yang Diminta Bertahan?
Retorika kemandirian kembali dikibarkan. Presiden menyebut Indonesia cukup kuat menangani bencana ini sendiri. Tidak perlu tergesa membuka pintu bantuan luar. Tidak perlu status yang membuat pasar gelisah, investor curiga, atau mata uang terguncang.
Masalahnya, kemandirian ini sering kali diminta dari mereka yang paling tidak mandiri: warga desa, petani, nelayan, buruh harian—yang kehilangan rumah, sawah, dan pekerjaan dalam satu malam hujan.
Negara menjaga citra stabilitas, warga diminta sabar.
Trauma Tsunami dan Ketakutan Mengulang Sejarah
Bayangan tsunami Aceh 2004 masih menghantui. Saat itu, status Bencana Nasional membuka pintu dunia: tentara asing, relawan global, logistik lintas negara. Bantuan memang datang deras, tetapi juga menyisakan trauma kedaulatan dan kekacauan koordinasi.
Sejak itu, negara belajar satu pelajaran penting: status nasional adalah pedang bermata dua. Ia membuka kran anggaran, tetapi juga membuka mata dunia bahwa negara sedang rapuh.
Maka, lebih aman menyebutnya bencana serius tapi tidak nasional. Sebuah istilah yang menenangkan grafik ekonomi, meski tidak selalu menenangkan warga yang kehilangan segalanya.
Ketika Angka Lebih Penting dari Luka
Di laporan resmi, korban dihitung. Rumah diklasifikasi. Jalan diinventarisasi. Semua masuk tabel. Namun yang sulit masuk laporan adalah kelelahan relawan, kecemasan ibu-ibu di pengungsian, dan masa depan anak-anak yang sekolahnya tertimbun lumpur.
Bencana nasional memang mahal. Tapi bencana yang ditunda pengakuannya sering kali lebih mahal secara kemanusiaan.
Karena tanpa status, anggaran berjalan biasa. Tanpa status, birokrasi tetap berlapis. Tanpa status, daerah tetap harus membuktikan bahwa mereka “cukup menderita” untuk layak dibantu lebih besar.
Negara yang Menunggu Ambang Patah
Di Indonesia, bencana harus mencapai titik hampir patah agar diakui sebagai nasional. Seolah negara berkata: bertahanlah sedikit lagi, jangan runtuh dulu—kami sedang menghitung dampaknya.
Dan di situlah satire ini berakhir:
bahwa di negeri rawan bencana, yang paling langka bukan hujan atau longsor, melainkan keberanian negara mengakui skala derita warganya tanpa takut kehilangan muka.
Kicker:
Air boleh meluap, tanah boleh runtuh, dan korban boleh bertambah. Tapi selama negara masih bisa berdiri tegak di podium, bencana akan tetap disebut “cukup terkendali”. Sebab di republik ini, pengakuan sering datang paling akhir—setelah segalanya telanjur hanyut.

