spot_img
BerandaBudayaWahyu yang Diperebutkan, Keraton yang Kehilangan Makna

Wahyu yang Diperebutkan, Keraton yang Kehilangan Makna

Di titik ini, keraton tak lagi bisa berlindung di balik dalih adat semata. Ketika konflik internal terus-menerus terjadi, publik berhak bertanya: apa fungsi keraton hari ini? Apakah ia masih menjadi sumber nilai dan kebijaksanaan, atau sekadar panggung eksklusif bagi elite darah biru yang berebut simbol kekuasaan yang secara politik sudah lama kehilangan daya?

Oleh Urangayu

Sejarah politik Jawa sejak berabad-abad lalu tampak seperti lingkaran setan yang enggan putus: kekuasaan lahir dari pertumpahan darah, bertahan lewat intrik, lalu runtuh oleh perebutan legitimasi. Nama kerajaannya boleh berganti—Singosari, Majapahit, Demak, Mataram—tetapi polanya nyaris sama. Yang berubah hanya alat dan dalihnya.

Konsep wahyu keprabon—yang semula dimaknai sebagai amanat kosmis untuk memerintah dengan adil—perlahan menyempit menjadi sekadar pembenaran ambisi. Ia tidak lagi hadir sebagai tanggung jawab moral, melainkan klaim sepihak: siapa merasa memilikinya, merasa sah merebut takhta. Dalam logika ini, pembunuhan, penggulingan, hingga pengkhianatan tidak dianggap dosa sejarah, melainkan “takdir kekuasaan”.

Keraton Surakarta Hadiningrat adalah cermin paling telanjang dari warisan itu. Setelah Mataram Islam pecah, Solo bukan hanya menerima pusaka dan gelar, tetapi juga kutukan laten: kekuasaan yang lebih sibuk menjaga simbol daripada nilai. Keraton menjadi ruang sempit tempat silsilah dihitung dengan teliti, sementara makna kepemimpinan justru tercecer di luar tembok.

Ontran-ontran di tubuh Kasunanan Surakarta beberapa waktu lalu memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi legitimasi itu. Dalam satu periode, dua raja mengklaim kekuasaan atas satu keraton. Satu bertakhta, satu dibadran. Dua versi kebenaran hidup berdampingan, seolah sejarah bisa dipilih sesuai kepentingan. Yang dipertontonkan bukan lagi kebijaksanaan Jawa, melainkan perebutan tafsir adat yang terasa lebih politis daripada spiritual.

Di sisi pintu, para penjaga berjaga dalam diam yang khidmat. Sesekali mereka diajak berfoto oleh wisatawan dari luar kota yang datang berkunjung. Senyum sederhana pun mengembang, bukan sebagai atraksi, melainkan sebagai kebanggaan sunyi atas pengabdian yang dijalani—menjaga warisan, bukan sekadar pintu.(mc)

Zaman memang telah berubah. Darah tidak lagi mengalir di pendapa, keris tak lagi dihunus di alun-alun. Namun jangan keliru: kekerasan hanya berganti rupa. Ia hadir dalam bentuk delegitimasi, konflik simbolik, perebutan cap dan pengakuan. Jika dulu raja dijatuhkan dengan tikaman, kini cukup dengan membuyarkan keabsahan.

Ironinya, konflik itu akhirnya “didamaikan” bukan oleh kesadaran sejarah, melainkan oleh kompromi praktis. Raja tetap raja, yang menantang diberi jabatan. Sebuah solusi Jawa yang halus di permukaan, tetapi menyisakan pertanyaan besar: apakah damai semacam ini menyelesaikan masalah, atau hanya menunda letupan berikutnya?

Jawabannya segera tampak ketika sang raja wafat. Suksesi kembali ricuh. Klaim bermunculan. Garis keturunan diperebutkan seperti sertifikat tanah. Semua merasa paling berhak, paling sah, paling dekat dengan wahyu. Sejarah berulang, tetapi kali ini tanpa aura heroik—yang tersisa hanya kegaduhan.

Di titik ini, keraton tak lagi bisa berlindung di balik dalih adat semata. Ketika konflik internal terus-menerus terjadi, publik berhak bertanya: apa fungsi keraton hari ini? Apakah ia masih menjadi sumber nilai dan kebijaksanaan, atau sekadar panggung eksklusif bagi elite darah biru yang berebut simbol kekuasaan yang secara politik sudah lama kehilangan daya?

Bagi rakyat di luar tembok, ontran-ontran itu nyaris tak berdampak apa-apa. Harga beras tetap naik, lapangan kerja tetap sempit, dan ketidakadilan tetap hadir. Raja berganti atau tidak, kehidupan wong cilik berjalan dengan logikanya sendiri. Di sinilah tragedi sejarah Jawa menemukan bentuk paling satir: kekuasaan sibuk memperjuangkan legitimasi, sementara yang diperintah telah lama berhenti berharap.

Jika wahyu keprabon masih ingin relevan, ia mesti ditafsir ulang. Bukan sebagai hak waris, bukan sebagai klaim langit, melainkan sebagai tanggung jawab etis. Tanpa itu, keraton hanya akan menjadi museum konflik—indah dipandang, kosong di dalam.

Sejarah telah berulang terlalu lama untuk sekadar ditangisi. Barangkali sudah saatnya ia dibaca sebagai peringatan:
bahwa kekuasaan yang terus diperebutkan tanpa kebijaksanaan, pada akhirnya hanya akan mewariskan satu hal—
keributan yang tak pernah selesai, dan martabat yang pelan-pelan hilang.

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments