spot_img
BerandaBudayaTikar, Literasi, dan Wisatawan yang Mudah Kagetan

Tikar, Literasi, dan Wisatawan yang Mudah Kagetan

Dari tikar Drini, kita belajar satu hal penting: bepergian bukan sekadar datang dan menikmati, tapi juga memahami. Jika tak ingin merasa “kemahalan”, bawalah perlengkapan sendiri—tikar tipis yang bisa dilipat, misalnya. Praktis, ringan, dan bebas drama.

Oleh Tunggul Abyasa

Di Pantai Drini, ombak tetap datang dengan ritme yang sama. Pasir tak pernah protes. Angin tak pernah berdebat soal harga. Yang gaduh justru manusia—tepatnya wisatawan yang datang membawa kamera mahal, ponsel canggih, tapi lupa satu bekal penting: literasi.

Beberapa hari terakhir, Drini viral bukan karena karangnya yang memesona atau lautnya yang biru jernih, melainkan selembar tikar. Tikar sederhana yang mendadak berubah menjadi simbol ketidakikhlasan kolektif. Harga sewa Rp50 ribu dianggap dosa sosial, seolah tikar itu menuntut cicilan dan bunga.

Padahal, jauh sebelum kamera dinyalakan dan jari menari di layar TikTok, Pokdarwis Pantai Drini sudah membuat kesepakatan. Ketua Pokdarwis, Marjoko, menjelaskan: tarif Rp50 ribu hanya berlaku saat akhir pekan dan hari libur, dengan durasi pemakaian sekitar dua jam. Sebuah praktik yang jamak—bahkan sangat biasa—dalam dunia pariwisata. Hukum ekonomi bekerja tanpa perlu izin netizen: permintaan naik, persediaan terbatas, harga pun ikut mendaki.

Ironisnya, banyak wisatawan paham betul konsep ini ketika masuk hotel berbintang. Segelas air mineral di sana tak pernah diprotes meski harganya setara makan siang di warung. Saya teringat seorang teman yang dengan penuh semangat mengajak ngopi setelah perjalanan panjang dari Lombok ke Bali. Namun semangat itu luruh begitu menu dibuka. Akhirnya kami minum kopi sachet di kamar hotel—lebih murah, lebih ikhlas.

Masalahnya, sebagian dari kita sering lupa bahwa tempat memengaruhi harga, meski barangnya sama. Tikar di Pantai Drini bukan tikar di ruang tamu. Ia bekerja di bawah matahari, menanggung pasir, asin laut, dan ribuan punggung wisatawan yang datang silih berganti.

Mungkin persoalannya bukan tikar. Bisa jadi kita saja yang kurang bertanya, kurang membaca, dan terlalu cepat menuduh. HP di tangan lebih sering dipakai untuk memotret dan memviralkan, bukan untuk mencari informasi. Padahal satu kali pencarian sederhana bisa menyelamatkan kita dari rasa malu berjamaah.

Dari tikar Drini, kita belajar satu hal penting: bepergian bukan sekadar datang dan menikmati, tapi juga memahami. Jika tak ingin merasa “kemahalan”, bawalah perlengkapan sendiri—tikar tipis yang bisa dilipat, misalnya. Praktis, ringan, dan bebas drama.

Dulu di Malioboro, cerita serupa pernah terjadi. Harga makanan dianggap tak masuk akal karena tak tertera. Tapi di sanalah “jebakan Batman” bekerja: ketika kita tak bertanya, lalu marah setelah membayar. Seakan kesalahan selalu milik orang lain, bukan karena kita yang abai.

Wisata sejatinya bukan soal murah atau mahal, tapi soal kesiapan mental. Yang mahal kadang bukan tikarnya, melainkan ego kita yang tak siap menerima kenyataan. Dan di Pantai Drini, ombak tetap datang seperti biasa—sementara kita, entah belajar atau kembali pulang sambil menyalahkan segalanya.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments