Catatan Satir dari Tanjung Benoa
LESINDO.COM – Di Tanjung Benoa, laut membentang luas, langit biru tampak murah hati, dan manusia datang dengan ego yang kadang lebih besar dari ombak. Mereka berteriak kegirangan di atas banana boat, menawar harga suvenir sampai ke titik paling rendah, tetapi tiba-tiba menjadi pelit luar biasa ketika berhadapan dengan sebuah kotak kecil bertuliskan: WC Umum – Rp2.000.
Dua ribu rupiah.
Angka yang sering kali terasa lebih berat dari jaket pelampung.
Sebagian orang masuk kamar mandi dengan wajah seolah sedang dizalimi. Ada yang pura-pura tak melihat kotak uang. Ada pula yang berbisik sinis, “Enak ya jadi penjaga WC, tinggal duduk, nunggu orang datang.” Sebuah logika ekonomi brilian—kalau benar semudah itu, barangkali besok fakultas-fakultas bisa ditutup. Tak perlu sekolah, tak perlu gelar. Cukup jaga WC, dan hidup akan makmur.
Anehnya, tak satu pun dari mereka yang benar-benar ingin bertukar nasib.
Penjaga WC itu menyambut dengan senyum yang tak pernah ikut lelah. Padahal, hidupnya pernah jauh lebih “pantas” untuk dibanggakan. Ia mantan anggota Angkatan Laut. Pernah berdiri sebagai kapten nahkoda kapal niaga pelayaran nasional. Pernah memimpin, memberi komando, menatap cakrawala sebagai penentu arah.
Kini, di usia 71 tahun, ia memimpin antrean ke bilik toilet.
Sebuah degradasi jabatan, kata dunia.
Sebuah kenaikan martabat, kata hati.
Ia berhenti berlayar bukan karena kalah, melainkan karena memilih pulang. Keluarga lebih penting daripada gelar. Bekerja lebih mulia daripada menjadi beban. Maka jadilah ia penjaga WC—profesi yang sering dianggap terlalu kecil untuk dihormati, tetapi terlalu besar untuk benar-benar dijalani orang yang suka meremehkan.
Dari bilik WC itu, ia berbicara tentang hidup dengan ketenangan yang jarang dimiliki para pemilik kartu nama berlapis emas. Tentang tujuan hidup yang boleh berbeda-beda, tetapi ujungnya sama: mati. Tentang pengadilan yang tak menerima alasan, tak peduli jabatan, dan tak bisa disuap.
“Urusan manusia harus selesai dulu,” katanya.
Kalimat yang sederhana, tapi terasa mahal—mungkin semahal dua ribu rupiah yang sering ditawar.
Ia mengingatkan, tunduklah meski kaya. Merendahlah meski berilmu. Jagalah lisan meski pandai bicara. Sebab di hadapan Tuhan, tak ada gelar, tak ada status, tak ada WC VIP.
Saya meninggalkan Tanjung Benoa dengan satu kesimpulan satir:
Di negeri ini, yang sering kotor bukan kamar mandinya—melainkan cara kita memandang sesama manusia.
Dan ironisnya, pelajaran paling bersih tentang hidup justru saya temukan di tempat yang paling sering kita sebut: jorok. (mac)

