spot_img
BerandaHumanioraWaktu yang Diam-Diam Meninggalkan Kita

Waktu yang Diam-Diam Meninggalkan Kita

Saya pikir saat itu mereka akan selamanya kecil. Selamanya butuh diantar. Selamanya menunggu saya di gerbang dengan senyum yang belum terkontaminasi dunia.

Oleh : Lembayung

Kadang saya bertanya-tanya, sejak kapan pagi berhenti memanggil dengan suara anak-anak? Sejak kapan tidak ada lagi langkah kecil berlari dari dalam rumah, membawa tas yang lebih besar dari tubuhnya sendiri?
Mungkin semua itu hilang perlahan—tapi rasanya seperti dicabut sekaligus, dalam sekali tarikan.

Dulu setiap pagi saya selalu merasa tergesa. Terlalu sibuk mengejar jam masuk sekolah, terlalu sibuk memastikan mereka tidak terlambat, terlalu sibuk… sampai lupa menikmati wajah mengantuk yang sebenarnya hanya hadir beberapa tahun dalam seumur hidup.

Saya pikir saat itu mereka akan selamanya kecil. Selamanya butuh diantar. Selamanya menunggu saya di gerbang dengan senyum yang belum terkontaminasi dunia.

Ternyata, waktu punya cara paling kejam untuk mengajari kita:
ia tidak menunggu siapa pun, terutama orang tua yang selalu merasa masih punya esok.

Kini anak-anak itu sudah kuliah—melangkah jauh, membawa cerita sendiri, membangun hidup yang tak selalu membutuhkan pelukan kita. Dan saya baru menyadari betapa bodohnya merasa “masih banyak waktu.”

Yang lebih menyakitkan bukan hilangnya rutinitas mengantar-jemput, tapi kesadaran bahwa saat-saat paling berharga justru yang dulu paling sering saya keluhkan:
kemacetan pagi, sepatu yang hilang sebelah, baju seragam yang belum kering, rengekan kecil karena PR belum selesai.

Kini semua itu menjadi harta yang tidak bisa saya tarik kembali.
Saya baru mengerti bahwa kerepotan adalah bentuk cinta yang menyamar.

Kadang, ketika pulang ke rumah sore-sore, saya masih refleks melihat ke pintu, seperti menunggu mereka keluar dengan rambut acak-acakan dan suara riang memanggil. Tapi pintu itu tetap diam. Hanya tirai yang bergerak pelan seperti sedang mengejek betapa lambatnya saya memahami semuanya.

Kalau saja waktu mau kasihan barang satu hari saja—satu pagi yang kembali, satu perjalanan singkat menuju sekolah—mungkin saya akan memeluk mereka lebih erat, memandangi wajah mereka lebih lama, berbicara lebih lembut.
Tidak sekadar tergesa, tidak sekadar menjalankan kewajiban.

Tapi waktu tidak pernah berhutang pada siapa pun.
Ia mengambil tanpa permisi, lalu pergi tanpa menoleh.

Kini saya hanya tinggal dengan penyesalan yang membesar perlahan seperti kabut sore di halaman: diam, dingin, dan terus merambat.

Di dalam hati, saya mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa saya terlambat memahami betapa berharganya masa ketika mereka masih anak-anak. Itu adalah bab yang tak bisa diulang—bahkan jika seluruh dunia saya tukar.

Dan pada akhirnya, yang paling pedih adalah ini:
anak-anak tumbuh, dan kita menyadari bahwa bagian kita dalam hidup mereka sesungguhnya semakin mengecil.
Bukan karena mereka menjauh, tapi karena waktu tidak memberi kesempatan kedua.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments