spot_img
BerandaHumanioraMenapak Pelan di Jalan yang Sudah Diguratkan

Menapak Pelan di Jalan yang Sudah Diguratkan

Baginya, sedih dan bahagia hanyalah dua warna yang mengisi kanvas perasaan. Tidak ada yang abadi, tidak ada yang bisa dipertahankan selamanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menerima, merawat syukur, dan menjaga sabar agar tidak retak.

LESINDO.COM – Di sebuah desa di lereng Gunung Lawu, pagi datang dengan langkah pelan. Kabut turun rendah, menyembunyikan separuh bukit, sementara suara kentongan dari langgar tua memecah sunyi. Di teras rumah joglo yang mulai renta, Pak Wiryo—62 tahun—duduk sambil mengikat tali sepatunya yang sudah kusam.

Ia bukan siapa-siapa. Hanya petani sederhana yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk menanam padi, menunggu hujan, dan menua bersama musim. Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan pemahaman hidup yang tak semua orang sanggup memilikinya.

“Urip ki mung mlaku,” katanya, sambil tersenyum tipis. Hidup ini hanya berjalan.

Ucapan itu terdengar ringan, tetapi di baliknya ada puluhan tahun naik-turun kehidupan yang tak pernah benar-benar ia kuasai. Ada masa ketika hasil panen gagal, ketika anaknya sakit berkepanjangan, dan ketika istrinya harus pergi lebih dulu. Ada hari-hari ketika ia berjalan ke sawah sambil menahan sesak yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.

Namun satu hal yang ia pegang: perjalanan ini bukan sepenuhnya miliknya.

“Gusti sing nggambar lakune,” tambahnya. Tuhan yang melukis langkah-langkah itu.

Baginya, sedih dan bahagia hanyalah dua warna yang mengisi kanvas perasaan. Tidak ada yang abadi, tidak ada yang bisa dipertahankan selamanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menerima, merawat syukur, dan menjaga sabar agar tidak retak.

Dulu, ia mengira bahwa keberhasilan ada pada hasil panen yang melimpah, atau pada kondisi rumah yang semakin baik. Tetapi waktu mengajarkan hal lain. Keberhasilan, baginya kini, adalah ketika ia tetap bisa berjalan pulang dari sawah dengan hati yang jernih, tanpa menyalahkan siapa pun ketika keadaan berubah.

“Menang lan kalah dudu ukuranku,” ujarnya pelan. Menang dan kalah bukan ukuran hidupnya. “Tugasku mung nyambut gawe sing becik.” Ia hanya bekerja sebaik yang ia mampu.

Ia menatap pematang sawah di kejauhan—tempat ia menanam bukan hanya padi, tetapi juga harapan yang ia titipkan pada Tuhan. Di setiap langkahnya melewati lumpur, ia merasa sedang berlatih: meluruskan niat, menundukkan ego, dan menerima bahwa manusia memang bukan pemilik akhir dari perjalanan hidup.

“Kita iki mung bisa milih dalan,” kata Pak Wiryo, “tapi ora ngerti pungkasane ning endi.” Kita hanya bisa memilih jalan, namun tak pernah tahu di mana akhirnya.

Sang surya mulai naik. Kabut terbelah perlahan, menunjukkan hamparan hijau yang dibasahi embun. Pak Wiryo berdiri, memanggul cangkulnya, lalu berjalan ke arah sawah seperti ia melakukannya setiap hari. Tidak tergesa, tidak ragu. Ada ketenangan yang membuat langkahnya tampak ringan.

Dalam kesunyian pagi itu, seolah terdengar pesan sederhana namun dalam:
bahwa hidup tak menuntut kita untuk sempurna—hanya untuk terus berjalan.
Dan mungkin, di antara retakan waktu, itulah muhasabah paling sunyi yang bisa dilakukan seorang manusia. (Cha)

 

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments