spot_img
BerandaBudayaUniversitas Warung Kopi: Tempat Gelar Profesor Diperoleh Tanpa Belajar

Universitas Warung Kopi: Tempat Gelar Profesor Diperoleh Tanpa Belajar

Fenomena itu mirip budaya sowan di kampung: makin sedikit orang tahu, makin banyak ia mengaku dekat dengan sumbernya. Makin sering gagal, makin rajin ia menunjukkan arah, meski kompas hidupnya sendiri sering tidak berfungsi.

Oleh : Kang Mad

Di negeri yang katanya menjunjung tinggi martabat pendidikan, profesi guru justru kerap dipandang sebagai pekerjaan yang hidup di antara dua musim: musim idealisme dan musim perut keroncongan. Gajinya kecil, harapannya besar, beban kerjanya menggunung—tetapi hormat sosialnya sering kali ikut menurun, seperti tembok sekolah yang mulai terkelupas catnya. Tidak heran jika banyak orang memilih menjauh dari profesi itu.

Yang menarik, justru mereka yang paling menolak menjadi guru itulah yang paling rajin menggurui. Tanpa SK, tanpa jam pelajaran, tanpa amplop terima kasih. Di ruang kelas mereka tidak hadir, tetapi di warung kopi, pinggir lapangan, dan terutama di kolom komentar internet, gelarnya mendadak naik menjadi “Profesor Kehidupan”. Bicaranya lantang, nasihatnya panjang, logikanya kadang setipis kertas ulangan yang terlipat air hujan.

Ada yang, saking semangatnya, membagi ceramah seperti pedagang gorengan yang ingin cepat pulang: dilempar ke sana-sini, siapa kena ya sudahlah. Nasihat itu bukan lahir dari ilmu, tapi dari asumsi; bukan buah membaca, tapi residu dari pengalaman setengah matang yang belum pernah diuji.

Fenomena itu mirip budaya sowan di kampung: makin sedikit orang tahu, makin banyak ia mengaku dekat dengan sumbernya. Makin sering gagal, makin rajin ia menunjukkan arah, meski kompas hidupnya sendiri sering tidak berfungsi.

Sementara guru beneran—yang gajinya sering membuat dompet batuk kering—tetap bekerja dalam diam. Mereka bangun paling pagi, tidur paling akhir. Mereka memunguti masa depan muridnya seperti memungut pensil jatuh di lantai kelas: pelan, telaten, dan tanpa keluhan. Mereka menjaga api kecil pengetahuan agar tidak padam, meski di luar kelas sering kali dunia memadamkan semangat dengan kabar tentang gaji yang telat, fasilitas yang kurang, dan tuntutan yang terus bertambah.

Di mata masyarakat, guru seolah hanya penting di atas kertas pidato—bukan di ruang makan mereka. Padahal, justru guru-guru inilah yang merapikan huruf demi huruf di kepala anak bangsa, sehingga generasi berikutnya bisa membaca masa depan mereka sendiri.

Mungkin beginilah hidup menurut falsafah Jawa: adigang-adigung-adiguna—sifat merasa paling unggul sering muncul dari mereka yang tak punya apa-apa kecuali suara keras. Yang benar-benar tahu justru memilih diam, menjaga dirinya agar tidak terjebak pada kesombongan. Yang ilmunya dangkal sering kali paling bising, seperti katak di tempurung yang merasa suaranya menggema ke seluruh dunia.

Pada akhirnya, kita—murid kehidupan yang sering malas belajar ini—masih harus menghafal satu pelajaran penting yang tidak tertulis di buku teks: kerendahan hati jauh lebih bernilai daripada ambisi untuk terlihat paling benar.

Sebab dunia sudah cukup gaduh dengan segala opini dan keluhan. Guru yang sedikit bicara itu, yang tetap setia pada kelas-kelas kecilnya, barangkali sedang mengajari kita satu hal yang tak pernah masuk kurikulum: bahwa menjadi benar itu penting, tapi menjadi rendah hati adalah pangkal dari semua pembelajaran sejati.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments