spot_img
BerandaBudayaMatah Ati: Tarian Sakral dari Jantung Mangkunegaran

Matah Ati: Tarian Sakral dari Jantung Mangkunegaran

Di Mangkunegaran, Matah Ati diperlakukan layaknya pusaka: dirawat, dihormati, dan tidak sembarang dipertontonkan. Ada doa yang disisipkan sebelum latihan, ada etika yang mengikat setiap penari, dan ada kesadaran bahwa mereka sedang menyentuh memori panjang sebuah kadipaten.

LESINDO.COM – Di balik tembok-tebok tebal Pura Mangkunegaran, di mana aroma kemenyan dan kemuning sering bersarang di lorong-lorong tua, Matah Ati lahir bukan sekadar tari, tetapi sebagai tarian sakral—warisan yang menautkan sejarah perang, cinta, dan martabat perempuan Jawa.

Matah Ati berakar pada kisah Rubiyah, perempuan dari Karangasem yang menjadi penjaga api semangat para prajurit Pangeran Sambernyawa. Ia bukan tokoh besar dalam kitab babad, tetapi namanya mengalir dalam tradisi lisan, diingat sebagai “mata hati”—penuntun, cahaya, sekaligus peneguh.

Dalam ruang-ruang Mangkunegaran yang temaram, gerak Matah Ati bukan sekadar estetika tubuh; ia adalah ritual sunyi, bahasa simbolik antara manusia dan leluhur. Setiap lenggang tangan, setiap kerling mata, memanggil kembali ingatan lama tentang perjuangan, kesetiaan, dan pengorbanan.

Gerak Matah Ati tidak bisa dijalankan oleh penari pemula—dibutuhkan fondasi kuat gaya Surakarta yang alus namun berkarakter. (mc)

Para penari Matah Ati diajari untuk memasuki tarian seperti memasuki kalam hening—sebuah ruang batin. Tidak ada gerak yang benar-benar bebas; semua telah diatur oleh paugeran, oleh tatakrama tubuh Jawa yang halus namun tegas. Kain jarik yang mengepak lembut, selendang yang bergerak seperti asap dupa, hingga tatapan mata yang tajam namun teduh—semuanya menyiratkan kedalaman spiritual yang tak bisa dipalsukan.

Di Mangkunegaran, Matah Ati diperlakukan layaknya pusaka: dirawat, dihormati, dan tidak sembarang dipertontonkan. Ada doa yang disisipkan sebelum latihan, ada etika yang mengikat setiap penari, dan ada kesadaran bahwa mereka sedang menyentuh memori panjang sebuah kadipaten.

Bagi orang luar, Matah Ati mungkin hanya karya tari.
Namun bagi wong Solo—lebih-lebih warga Mangkunegaran—tarian ini adalah sakralitas yang hidup, napas yang menghubungkan masa lalu dengan generasi yang sedang tumbuh.

Ia adalah cara Mangkunegaran menjaga martabatnya.
Cara Jawa merawat ingatannya. (Chi)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments