spot_img
BerandaBudayaKetika Pikiran Lebih Miskin dari Dompet

Ketika Pikiran Lebih Miskin dari Dompet

Dalam hidup, batas terbesar sering kali bukan keadaan, tetapi pikiran yang sempit. Begitu seseorang yakin ia sudah mencapai “batas kemampuan”, hidup pun patuh berhenti di situ. Tapi ketika seseorang membuka celah kecil dalam pikirannya, sekecil jendela bambu di rumah desa, cahaya kesempatan pelan-pelan menyelinap masuk.

LESINDO.COM – Di sebuah sudut warung kopi yang tak pernah sepi, kita sering melihat pemandangan yang akrab: seseorang mengeluh panjang tentang nasib yang tak kunjung baik. “Hidupku ya begini-begini terus,” katanya, sambil menunggu keajaiban datang seperti menunggu wifi gratis menyala sendiri.

Ironisnya, orang seperti ini bukan miskin karena hidupnya berat—melainkan karena pikirannya lebih berat lagi. Ia mengurung dirinya dalam keyakinan bahwa kemampuan berhenti di titik yang sama dengan rasa malasnya bergerak. Seolah dunia sudah menutup pintu, padahal kuncinya masih ia kantongi sendiri.

Sementara itu, ada pula orang yang hidupnya sederhana, bahkan pas-pasan. Namun cara berpikirnya lapang seperti sawah selepas panen. Mereka percaya diri bisa belajar, berubah, dan berkembang. Mereka tidak sibuk meratapi keadaan, karena tahu ratapan hanya memperbanyak drama, bukan rezeki.

Perbedaan mereka bukan pada isi dompet—melainkan pada isi kepala.

Dalam hidup, batas terbesar sering kali bukan keadaan, tetapi pikiran yang sempit. Begitu seseorang yakin ia sudah mencapai “batas kemampuan”, hidup pun patuh berhenti di situ. Tapi ketika seseorang membuka celah kecil dalam pikirannya, sekecil jendela bambu di rumah desa, cahaya kesempatan pelan-pelan menyelinap masuk.

Lucunya, kita hidup di zaman ketika orang lebih rajin mengeluh ketimbang mencoba. Kita mengeluh ponsel lemot, tapi pikiran sendiri lebih lemot lagi memproses peluang. Kita sibuk memperbarui aplikasi, tapi jarang memperbarui cara berpikir.

Padahal hidup seseorang biasanya bergerak ke arah yang sama seperti pikirannya bergerak. Jika pikiran jalan di tempat, hidup pun ikut macet—lebih macet daripada jalur mudik.

Maka, jika ingin mengubah hidup, sering kali kita tidak perlu memohon keajaiban, cukup memperbaiki “software” dalam kepala. Ubah cara berpikir, dan perlahan hidup ikut menyesuaikan—meskipun tidak seinstan mie gelas.(Nis)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments