LESINDO.COM – Di tepi barat Pulau Bali, di mana laut mencium tebing dan angin membawa aroma garam yang purba, berdirilah sebuah pura di atas batu karang — Tanah Lot, tempat di mana bumi dan samudra seolah bersepakat untuk bertemu dalam keheningan.
Setiap gelombang yang datang seakan mengucapkan mantra, setiap hembusan angin menyimpan cerita yang lahir dari keyakinan dan kesucian.
Legenda menuturkan, pada abad ke-16 seorang pendeta suci bernama Dang Hyang Nirartha menapaki pesisir selatan Tabanan. Dalam perjalanannya menyebarkan ajaran dharma, beliau tiba di sebuah batu besar yang menjorok ke laut. Di sanalah ia merasakan getaran suci — suara alam yang memanggil untuk membangun tempat pemujaan bagi Dewa Baruna, sang penguasa samudra.
Penduduk sekitar, yang kala itu masih memuja dewa laut, terpesona oleh ajarannya. Namun, tak semua menyambutnya dengan tangan terbuka. Seorang kepala desa yang iri mencoba mengusir sang pendeta.

Dengan kesaktiannya, Dang Hyang Nirartha memindahkan batu tempat ia bersemedi itu ke tengah laut. Di sanalah ia menancapkan simbol keabadian: pura di atas laut, yang kini dikenal sebagai Tanah Lot. Sebagai pelindung, ia menurunkan sehelai selendangnya yang kemudian menjelma menjadi ular laut suci, penjaga abadi pura dari roh jahat dan niat buruk manusia.
Hingga hari ini, masyarakat percaya bahwa ular itu masih ada — hidup di celah batu di bawah pura, berwarna hitam putih seperti simbol keseimbangan antara baik dan buruk, laut dan darat, manusia dan alam.
Dan di atas karang itu, para pemuja masih datang membawa sesaji, doa, dan harapan. Ombak datang silih berganti, namun Tanah Lot tetap teguh — seperti iman yang tak pernah padam di tengah gelombang zaman.
Saat matahari tenggelam di ufuk barat, pura itu berubah menjadi siluet keemasan yang seolah terapung di antara cahaya dan air. Di momen itu, siapa pun yang memandang akan merasa bahwa Tanah Lot bukan sekadar tempat, melainkan pertemuan antara keyakinan dan keindahan, antara kisah kuno dan kehidupan yang terus berjalan. (mac)


